Sementara, dua orang sisanya mengangkut tanah itu ke dalam karung dan ditata di tepi sebagai pembatas embung.
"Embung ini untuk menampung air dari saluran air. Saat kemarau seperti ini, kami tidak bisa mengandalkan air irigasi setiap saat karena sudah mulai surut," kata Latenga ketika dijumpai ANTARA di Abepantai Distrik Abepura, Jayapura, Papua.
Galian seluas 6x5 meter itu belum selesai betul untuk dapat menampung air dari irigasi. Empat orang itu masih harus menyangkul agar kedalaman embung mencukupi hingga sekira satu meter.
Lantenga adalah Ketua Kelompok Petani Unggulan yang menanam beraneka sayuran di Abepantai bersama sembilan orang lainnya. Selain bayam sebagai tanaman utama, kelompok itu juga menanam kangkung, cabai, juga kemangi.
Lahan seluas 0,25 hektar itu masih berstatus tanah milik suku Ondoafi yang mereka sewa Rp200 ribu per bulan.
"Sayuran kami diambil langsung oleh pedagang pengumpul setiap pagi dan sore hari," kata pria berusia 36 tahun itu.
Per hari, Kelompok Tani Unggulan mampu memanen rata-rata 1.000 ikat per hari dengan harga yang mereka tawarkan Rp3.000 per ikat.
Pedagang pengumpul itu lantas menjual kembali bayam produksi para petani di Pasar Youtefa. Bayam itu lantas dibeli para pengecer, termasuk untuk memasok sejumlah usaha di kota Jayapura, seperti restoran dan hotel yang ditempati sejumlah tamu dari luar daerah sepanjang penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional (PON) XX Papua.
"Harga jual bayam kami memang tidak meningkat. Tapi, kami bersyukur harganya juga tidak turun," kata pria asal Bau-bau Sulawesi Tenggara itu.
Sejumlah petani sayuran yang mengandalkan ladang tadah hujan tersebar di Kota Jayapura. Selain di Abepantai, terdapat pula petani sayuran di tepi jalan raya Abepura dan tidak jauh dari Pasar Youtefa Baru.
Pada awal Oktober, hujan yang turun tidak terlalu sering menjadi tantangan bagi sejumlah kelompok tani di Kota Jayapura untuk mengamankan pasokan air.
"Jika semalam hujan, kami tidak menyiram tanaman pada pagi harinya. Kami siram pada tanah yang kering saja saat sore," kata Latenga yang mengaku baru membuka lahan sayuran itu pada awal 2019.
Baca juga: DPR apresiasi percepatan pembangunan pertanian di Papua
Menyiasati harapan
Sementara di Kelurahan Koya Barat, Distrik Muara Tami, Kota Jayapura, Kelompok Tani Timur Jaya berlaga pada "cabang" atau komoditas lain, yaitu tomat, cabai, sawi buah, kol, daun bawah, jagung manis, serta sejumlah buah seperti semangka dan pepaya california.
"Semula, kami berharap (penyelenggaraan) PON dapat menyarap produksi kami. Ternyata, harga tomat, kol dan cabai keriting anjlok," kata Senitu, Ketua Kelompok Tani Timur Jaya.
Sementara untuk semangka, pepaya california dan jagung manis, Kelompok Tani Timur Jaya masih bisa mengais cuan walau tidak menutup kerugian dari tiga komoditas lain.
Untuk harga tomat misalnya, di tingkat petani Kota Jayapura anjlok menjadi Rp2 ribu per kilo dari sebelumnya mencapai Rp6 ribu per kilonya. Sedangkan harga kol di tingkat petani sejak pertengahan September juga menjadi Rp2 ribu per kilo dari yang sebelumnya bisa mencapai Rp5 ribu-Rp10 ribu.
Sementara pada komoditas buah-buahan, seperti semangka, harga menjadi Rp25 ribu jelang PON XX dari harga sebelumnya Rp15 ribu per kilo. Begitu pula, kenaikan harga terjadi pada jagung manis yang mencapai Rp150 ribu per karung dari sebelumnya Rp70 ribu per karung.
Siasat mengurangi kerugian besar diperlukan Senitu dan kelompoknya saat harga sejumlah komoditas tidak seindah yang dibayangkan.
Salah satunya, mereka menjual ternak guna menghidupi keluarga karena keuntungan di komoditas lain dipakai menutup modal dari komoditas yang anjlok harga jualnya.
"Saya menjual sapi yang kecil. Ya, itu untuk kebutuhan rumah dan keluarga," kata pria yang semula punya empat sapi ternak.
Sebagian besar petani di kelompok-kelompok tani di Koya Barat mendapatkan modal bertani dari pedagang pengumpul atau tengkulak. Tengkulak itu lantas mengambil hasil panen untuk dijual ke pasar.
"Pasokan kebutuhan PON, saya dengar didatangkan dari luar Papua. Berarti, panen kami ini untuk kebutuhan lokal saja," kata pria berusia 46 tahun itu.
Baca juga: DPD apresiasi pembangunan pertanian di Papua
Pergeseran pertanian
Kelompok tani itu semula punya lahan masing-masing satu hektar untuk ditanam berbagai komoditas pertanian, seperti padi, palawija, sayuran, termasuk hewan ternak.
Mereka adalah keturunan para transmigran yang datang ke Jayapura pada 1982. Seiring waktu, lahan mereka semakin menyempit akibat persoalan irigasi, alih fungsi lahan, hingga perubahan cuaca.
"Kami menggarap satu hektar untuk ditanam sayur-sayuran. Sebelumnya ada padi," kata Senitu yang mengaku petani di kelompoknya kini mulai menjual lahan garapan ke pengembang properti.
Persawahan di Distrik Muara Tami, baik di Koya Barat dan Koya Timur, sudah tampak menjadi bangunan perumahan. Padi dari para petani lokal kalah bersaing secara kualitas dengan komoditas yang didatangkan dari luar Jayapura, baik dari luar pulau ataupun dari kabupaten lain, seperti Merauke.
"Di sisi lain, kami harus tetap memenuhi kebutuhan keluarga, seperti pendidikan anak," katanya perihal para petani menjual lahan garapan mereka ke pengembang properti.
Selain alih fungsi lahan, generasi ketiga para transmigran asal pulau Jawa itu kini tidak lagi meminati bidang pertanian sebagaimana pendahulunya. Mereka lebih memilih untuk menjadi pegawai, berdagang, ataupun merantau ke daerah lain.
Melihat tren bidang pertanian yang semakin merosot, para penyuluh pertanian dari Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kota Jayapura lantas memberikan pandangan kepada para petani agar tidak menjual lahan mereka.
Para penyuluh meminta petani untuk mengoptimalkan lahan sebagai kawasan agrowisata, sebagaimana berkembang di sejumlah daerah di Jawa. Penggabungan antara sektor pertanian dengan pariwisata diharapkan menjadi penopang baru pertanian.
Baca juga: Pupuk Kaltim salurkan bantuan traktor untuk petani di Papua
Kontribusi tani kota
Wali Kota Jayapura Benhur Tomi Mano, kepada ANTARA, mengatakan sejumlah komoditas pertanian, seperti sayuran dan buah untuk kebutuhan PON XX dapat dipasok dari Kota Jayapura.
"Komoditas pertanian kota dibeli langsung oleh vendor PON. Kami sudah menyosialisasikan kepada para vendor untuk membeli pangan dari petani lokal," kata Tomi Mano.
Kontribusi produk-produk pertanian lokal Kota Jayapura terhadap kebutuhan penyelenggaraan PON Papua itu mencapai 30 persen.
Pasokan untuk PON pertama di Bumi Cenderawasih itu juga diambil dari daerah lain, seperti dari Kabupaten Keerom, Kabupaten Jayapura dan Kabupaten Jaya Wijaya.
Tomi Mano mengaku para petani lokal sudah diminta untuk menyiapkan pasokan guna memenuhi kebutuhan PON. Tapi, terdapat pula sejumlah komoditas yang didatangkan dari luar Papua, seperti dari Surabaya.
Pemerintah Kota Jayapura, menurut Tomi Mano, menyadari ada dampak dari kedatangan pasokan komoditas pertanian dari luar pulau. Bagi petani lokal, dampak itu adalah harga yang merosot.
"Kami belum mengarah ke sana. Tapi, kami tentu akan memikirkan itu," kata Wali Kota Jayapura tentang bantuan bagi petani kota yang terimbas harga anjlok akibat kehadiran komoditas pertanian dari daerah lain.
Bagi Latenga dan Senitu, gegap gempita PON Papua bukan saja tentang banyak-banyaknya jumlah medali bagi kontingen tuan rumah, bukan pula kemeriahan upacara pembukaan dan pameran-pameran yang digelar.
Latenga dan Senitu tentu berharap dapat menyaksikan langsung atlet-atlet tanah Papua berlaga di berbagai arena cabang olahraga. Tapi, cara dukungan mereka lebih khas dan spesial, bukan hanya dengan yel-yel dan sorak-sorai.
Bahkan, dukungan mereka tidak hanya bagi atlet-atlet Papua, melainkan juga kepada semua atlet dan pelatih Nusantara yang hadir, kepada tamu-tamu yang tiba di Papua.
Medali emas bagi Kelompok Tani Unggulan maupun Kelompok Tani Timur Jaya adalah kenaikan harga jual. Momentum bagaimana pasokan produksi sayuran, buah dan palawija terserap dalam penyelenggaraan pesta olahraga itu.
Mereka, bersama para petani dari Kabupaten Keerom, Kabupaten Jaya Wijaya, Kabupaten Jayapura, Kabupaten Mimika dan Kabupaten Merauke, juga berlaga dan merebut gelar juara dalam PON Papua.
Baca juga: TNI diminta motivasi petani di Jayawijaya-Papua olah lahan kosong
Editor: Rr. Cornea Khairany
Copyright © ANTARA 2021