Jakarta (ANTARA News) - Dalam buku “The Power of Sustainable Thinking” (2008), Bob Doppelt berujar The earth’s natural capital-ecological wealth not created by, but essential for, human survival – as well as social and economic well-being are at grave risk.  The way in which society responds to these challenges will define the winners and losers of the future.  

Keniscayaan kekhawatiran Bob akan terkuburnya jagat ini kiranya cukup bisa dicerna nurani.  Millenium Ecosystem Assessment (2005) melansir bahwa 2/3 servis ekologis yang alam anugerahkan dalam bentuk air dan udara bersih telah berangsur mengalami terpaan degradasi dan dimanfaatkan secara tak berkelanjutan.

Selanjutnya WHO (2007) mengisahkan 40% penyebab kematian saat ini bermuasal dari pencemaran air dan udara.  Di antara 6,5 miliar manusia, 57%-nya malnutrisi.  Bandingkan dengan 20% malnutrisi ketika penduduk bumi 2,5 miliar (1950).  Bukannya makin sejahtera, tapi malah menukik keterpurukan !

Diperlukan kerja kolektif dalam menghambat laju degradasi alam ini.  Sinergitas antara pemerintah, masyarakat, dan level individu, sejatinya terus mengemuka  sebagai sebuah diskursus yang tak henti-hentinya diformulasikan, dikumandangkan, dan konsisten diaplikasikan.    

Tanpa kolektivitas, pengelolaan lingkungan niscaya hanya berbuah keberlanjutan kerusakan. Simak, pengelolaan  sampah saja, kita masih open dumping, dengan menyemutnya pemulung mengais rejeki di bukit sampah.  Bahkan sebuah tayangan TV melansir ada segelintir pemulung mengkonsumsi makanan basi yang telah jadi sampah  !  Sebuah potret kemelaratan segmen masyarakat pinggiran yang miris ?

Sepanjang penanganan sampah di TPA masih konvensional, maka percuma saja kita berkoar untuk mensortir sampah rumah tangga menjadi sampah organik dan non organik, karena tokh akhirnya dicampur juga menjadi gunungan aneka rupa sampah.

Potret Permasalahan Ekologis
Raut wajah ekologi mulai didera ancaman sejak bermulanya revolusi industri di Inggris sekitar abad 18.  Peningkatan kesejahteraan sebagai konsekuensi positif dari pertumbuhan industri merangsang peledakan penduduk.
 
Belenggu penjajahan yang melanggengkan kebodohan, keterbelakangan, dan kemiskinan yang telah mengekang pertumbuhan penduduk, telah terserabut semenjak berseminya perubahan peta geopolitik besar-besaran, dengan merdekanya negeri terjajah di Asia, Amerika Latin, dan Afrika, juga memicu peledakan populasi manusia sejak abad 19.  

Bayangkan penduduk bumi ini mengalami dubbling beberapa kali hanya dalam rentang waktu 100 tahun.  Pada tahun 1900 total penduduk jagat ini 1,6 miliar, lalu tahun 2000 meroket menjadi >6 miliar.  Porsi terbesar (hingga 80%) booming penduduk terjadi di mantan negeri terjajah.

Implikasinya semakin banyak sumberdaya alam terbarukan dan tak terbarukan yang digerus akibat ketamakan, semakin beragam bahan artificial (non alamiah) diproduksi, semakin besar volume pencemar dirilis ke lingkungan, semakin rentannya kelentingan (resiliensi) ekologis,  dan semakin kerap pula anomali alam mampir sebagai reaksi kemurkaan. 

Bahan artificial terkreasi melalui proses rekayasa.  Terkadang bahan artificial menjadi sangat murah dan massal penggunaannya di masyarakat.  Sebutlah plastik,  betapa benda ini bisa ditemukan hingga pelosok manapun di persada ini. 

Di laut, di hutan, di kampung terpencil, apalagi di daerah urban, mata kita selalu dihiasi dengan berserakannya sampah kantong dan botol plastik. Parahnya, plastik dan sterofoam berkarakter persisten dan rekalcitran, terus ada di alam dan sulit terdekomposisi.

Adakah kebijakan pemerintah yang menghambat penggunaan plastik ? Rasanya belum ?  Kitapun juga telah dimanja dan praktis berbudaya plastik.  Manakala berbelanja bulanan di supermarket, pernahkah kita membawa tas  jinjingan sendiri dari rumah ? Kiranya sudah tak ada lagi ibu modern yang berperilaku demikian, yang ada adalah disibukan dengan berbagai macam kartu ATM,  kartu kredit,  beberapa buah HP, parfum, dan peralatan kecantikan  !

Tergerusnya kebiasaan ibu kita tempo dulu yang selalu menenteng tas belanjaan ke pasar, disambut obral plastik gratis dari supermarket, sebagai bentuk pelayanan prima yang salah kaprah, dan sebetulnya jauh dari ramah lingkungan.  

Kalau kita belanja pakaian, makanan jadi, bahan mentah, obat-obatan, bahan pembersih, sudah pasti barang-barang tersebut akan dikemas dalam beberapa plastik terpisah, lalu dikantongi lagi dalam plastik besar.  

Di salah satu supermarket di Inggris, sekiranya bawa tas belanjaan dari rumah, maka tas tersebut dihargai beberapa cent Poundsterling.  Kantong plastik dijual mahal, tidak gratis seperti di negeri kita.  Di Jerman dan Jepang, sebuah rumah tangga yang tidak mensortir sampahnya menjadi sampah organik, kertas, botol, dsb, maka jangan harap sampah tersebut akan dipungut oleh tukang sampah yang datang secara berkala ke rumah.

Permasalahan ekologis yang kerap singgah di negeri kita hari belakangan ini, disinyalir sebagai resultante dari tidak bijaknya kita dalam berkawan dengan alam.  Penambangan batu bara di Kalimantan, penambangan timah di Bangka Belitung, menyisakan kolam-kolam raksasa idle.  Pembalakan hutan berkontribusi terhadap kerapnya banjir bandang dan tanah longsor. 

Berserakan sampah, limbah industri, tak eloknya pemandangan bantaran sungai, ketidakmolekan lingkungan karena gersang, dan kesemrawutan menjadi santapan mata kita sehari-hari yang menggemaskan.

Di Jerman, setiap pembelian air mineral,  berarti juga membeli botol plastiknya.  Selanjutnya melalui mesin otomat botol yang tersebar di supermarket, botol tersebut dapat ditukar dengan uang.  Sampah botol plastik teratasi dengan mekanisme ini.  

Katanya di Thailand, diterapkan kebijakan “balik muka”.  Industri yang berlokasi di sekitar bantaran sungai diminta untuk mengalihkan halaman depannya menghadap sungai.  Dengan cara ini keseharian pelaku sektor industri akan selalu disuguhi dengan pemandangan tak elok dan bau tak sedap, sehingga berimbas pada munculnya kesadaran, upaya, dan tanggungjawab untuk serius memperhatikan kelestarian ekosistem sungai.

Pada 8 Oktober 2010 di Hanoi (Vietnam), Eddy Santana Putra, Walikota Palembang, mengusung anugerah Palembang sebagai kota terbersih ASEAN untuk kategori Clean Land.  Sangat pantas kalau kota lainnya di tanah air ini meneladani Palembang.

Kebijakan cerdas dan inovatif demikianlah yang perlu ditelaah dan dikembangkan oleh pemegang amanah otoritas lingkungan di negeri ini, agar kita tak terhanyut dalam sinyalemennya Bob Doppelt. (***)

*) Sekretaris Eksekutif PPLH IPB

Oleh Hefni Effendi
Editor: Bambang
COPYRIGHT © ANTARA 2011