Jakarta (ANTARA News) - Badan Antariksa Inggris (UKSA) menawari Indonesia sebuah satelit Penginderaan Jauh SAR Ekuatorial untuk mengatasai perubahan.

"Teknologi satelit ini benar-benar canggih dan baru di dunia," kata Kepala LAPAN Dr Adi Sadewo Salatun Msc dalam diskusi "SAR Satellite Aplication for Supporting MRV, REDD+ and Climate Change Mitigation di hotel Aryaduta pada Rabu (2/2).

Satelit itu didasari kebutuhan Indonesia untuk mengukur emisi karbon akibat degradasi dan deforestasi hutan di Indonesia. Menurut data LAPAN Indonesia termasuk negara yang memiliki hutan terbanyak di dunia setelah Kongo dan Brasil.

Nur Hidayat, Deputi Pengideraan Jauh LAPAN menjelaskan saat ini Indonesia hanya memiliki tekonologi satelit optical dimana penginderaan hanya berupa foto-foto sedangkan teknologi baru ini ialah radar dimana kita bisa mengambil data dalam berbagai medan.

Menurut Nur, semakin banyak hutan dalam suatu negara maka akan semakin banyak awannya karena awan berasal dari uap-uap air yang dihasilkan hutan-hutan tersebut

"Satelit optical tidak dapat mengumpulkan data ketika cuaca berawan, jelas berbeda dengan satelit radar (SAR) yang siap diberbagai medan," ujar Nur.

Jika tawaran kerjasama itu terealisasi maka satelit itu akan beredar berdasarkan ekuatorial (garis khatulistiwa) sedangkan satelit radar saat ini di Eropa berdasarkan polar (kutub).

"Jika terjadi, satelit itu akan diluncurkan pada 2014 dan dapat mengcover (mengumpulkan data) Indonesia seminggu tiga kali," ujar Nur.

UKSA akan membantu Indonesia dari pemantauan hutan dan lahan, penyediaan data satelit, keahlian dan infrastruktur.

Dr. David Williams, kepala UKSA mengatakan teknologi ruang angkasa sangat penting bagi setiap aspek kehidupan manusia untuk mengumpulkan data yang akurat dan memberikan informasi yang berguna bagi masyarakat.

"Dengan satelit ini kamu bisa membedakan antara penebangan hutan legal dan ilegal,"ujarnya.

Ketika ditanya ANTARA dengan menjalin kerjasama dengan badan antariksa Amerika (NASA), Nur mengatakan, "NASA lebih fokus untuk keperluan militer ketimbang sipil."

Dalam diskusi itu dihadiri oleh  LAPAN, Bappneas, UKP$, Dewan Nasoinal Perbuahan Iklim, Kementerian Riset dan Teknologi, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Kehutanan, BMKG, Bakosurtanal dan BPPT.

(Adam/S026)


Pewarta: Adam Rizallulhaq
Editor: Suryanto
COPYRIGHT © ANTARA 2011