Pontianak (ANTARA News) - A Liong, pria paruh baya keturunan Tionghoa pemilik sebuah kios kelontong di timur Pontianak, berkemas menutup kiosnya sekitar pukul 13.00 WIB, jauh lebih awal dari biasanya yang selalu tutup sekitar pukul 19.00 WIB.

Sebenarnya kios dan rumahnya itu menyatu, tapi dia tetap memutuskan tutup kios lebih awal, agar bisa mempersiapkan penyambutan tahun baru cina yang biasa disebut Imlek.

"Kami ingin merayakan Tahun Baru Imlek mulai malam ini. Kami akan bersiap-siap menyambutnya bersama keluarga besar," kata A Liong.

Seperti kebanyakan rumah warga Tionghoa lainnya, rumah A Liong juga sudah dihiasi banyak macam aksesoris khas Imlek yang serba merah itu, seperti lampion, nanas kertas dan pernik-pernik kain yang diberi tulisan dengan huruf cina.

Tahun Baru Imlek 2562 ini jatuh pada Kamis, 3 Februari 2011. Tentu saja bagi warga Tionghoa hari itu adalah hari spesial dalam menapaki tahun yang baru.

Pada hari pertama dalam penanggalan cina itu, pantang bagi mereka untuk membuka usaha, toko, atau bekerja, semiskin apapun mereka. Leluhur mereka mengajarkan untuk selalu melangsungkan ritual-ritual untuk kemakmuran dan kebaikan mereka pada tahun berikutnya.

Saat hari terakhir tahun yang lama mulai diselimuti gelap, setiap kali itu pula warga Tionghoa Pontianak keluar dari rumah untuk mulai membakar mercon (petasan) dan kembang api yang macamnya banyak itu. Intinya, pada malam itu mereka harus menggemakan bunyi-bunyian.

Tidak hanya Tionghoa beragama Kong Hu Cu atau Budha, yang beragama lain pun turut menyemarakkan tradisi budaya leluhur.

Malam itu langit di atas Kota Khatulistiwa itu diterangi api dan bumbungan asap yang keluar dari mercon-mercon yang dibakar, sementara letusan bersahut-sahutan dari berbagai jenis mercon dan kembang api membuat malam yang biasanya senyap menjadi....

Membakar mercon dan kembang api ini tidak hanya berlaku di tengah kota yang menjadi area utama pecinan di Pontianak seperti Jalan Gajah Mada, Jalan Tanjungpura, Jalan Imam Bonjol dan Jalan Diponegoro, tapi juga di sejumlah permukiman seperti Perumnas Tanjung Hulu, Jl. Purnama, Sungai Raya Dalam, Jalan Adi Sucipto, dan Siantan.

Rentetan dan letusan suara mercon dan kembang api yang bersahut-sahutan itu telah mencipta sebuah malam yang lebih semarak di Kota Pontianak yang diantaranya dihuni oleh sekitar 40 ribu orang warga Tionghoa itu.

"Ini kepercayaan kami untuk mengusir malapetaka dan hal-hal buruk lainnya," kata A Cung yang memeluk Kong Hu Cu.

Dalam bukunya "Aneka Budaya Tionghoa Kalimantan Barat", pengamat budaya Tionghoa, Lie Sau Fat memaparkan asal-usul tradisi membakar mercon. Menurut legenda, katanya, di zaman dahulu setiap hari terakhir menjelang pergantian tahun akan muncul sejenis binatang buas yang memangsa apa saja yang ditemuinya.

Si buas yang muncul setahun sekali itu kemudian dinamai Nian Show (Nian berarti tahun; Show berarti binatang).

Agar semua keluarga selamat, maka setiap menjelang tahun baru, semua pintu dan jendela rumah penduduk ditutup rapat sampai hari maut itu berlalu.  Selama itu pula keluarga-keluarga berkumpul di rumahnya.

Selang beberapa tahun Nian Show tidak lagi muncul, sehingga orang tidak lagi mengingat Nian Show yang buas itu. Saat itu pula, tiada pula tindakan preventif dari kemungkinan diserang Nian Show.

Sampai akhirnya pada suatu tahun makhluk buas itu datang kembali, menyerang dan memangsa semua makhluk yang ditemukannya.

Namun beberapa rumah penduduk terhindar dari serangan si buas itu. Ternyata rumah-rumah itu kebetulan sedang menggelar pesta kawin atau hari ulang tahun di mana di atas pintu rumah mereka digantungkan kertas merah bertuliskan kata-kata arif nan bijak.

Pengantin-pengantin berpakaian merah juga terhindar dari serangan Nian Show. Begitu juga anak-anak yang bermain mercon dengan bunyi-bunyian ramai. Mereka ini semua tidak dimangsa binatang pembawa petaka itu.

"Tapi mercon dahulu bukan seperti sekarang yang memakai mesiu, tetapi tumpukan bambu-bambu utuh yang dikeringkan lalu dibakar sehingga timbul bunyi seperti petasan," kata Lie Sau Fat yang juga pemilik nama FX Asali.

Belajar dari pengalaman itu, orang lalu  menarik kesimpulan bahwa Nian Show takut pada benda-benda berwarna merah, dan juga bunyi-bunyian mercon.

Sejak itu, setiap akhir tahun masyarakat Tionghoa menggantungkan kain merah, lampion merah atau kertas merah bertuliskan kata-kata bijak di rumah-rumah mereka, selain membakar mercon sebanyak mungkin untuk menakuti dan mengusir Nian Show, kata Asali.

Di sela ritual mengusir makhluk jahat itu, warga Tionghoa di Pontianak tak lupa bersembahyang di kelenteng-kelenteng di kota itu.  Mereka menyambut kedatangan dewa pembawa rezeki atau Thian Thi Kong atau Giok Hong Sang Tie.

"Kita berharap tahun 2011 yang merupakan tahun Kelinci Emas berdasarkan penanggalan cina, melambangkan umur panjang dan dikatakan sebagai turunan bulan, mohon dimudahkan dalam mendapat rezeki," kata A Cung yang bersembahyang di Vihara Paticca Samuppada, Pontianak.

Malam semakin larut, tetapi suasana kota yang dibelah Sungai Kapuas itu malah tetap semarak oleh bunyi tah hentik mercon dan kembang api yang dibakar, meski frekuensinya tidak seramai awal malam.

Namun, saat setengah jam sebelum tengah malam yang akan menutup tahun lama, frekuensi suara letusan mercon dan kembang api meningkat kembali di seluruh penjuru kota, bahkan kini lebih kencang dari sebelumnya. Jalan-jalan di tengah kota juga tetap seramai sebelumnya.

Memasuki dini hari pada pagi pertama di tahun yang baru ini, sekitar setengah jam pertama setelah jarum jam tepat menunjuk angka 12, bunyi letusan mercon dan gemuruh kembang api serentak tak terdengar lagi.

Tahun lama telah berganti baru.  Langit Kota Pontianak kembali senyap. Yang terdengar kemudian adalah salam  Gong Xi Fa Cai dari mulut orang-orang keturunan Tionghoa itu. Artinya, 'selamat, semoga diberi kemakmuran.'

Yang lainnya berharap dengan berucap 'Shin Nian Cing Pu', 'Tahun Baru, Semakin Maju.'

Semoga.

Z004/Z003

Oleh Zaenal Abidin
Editor: Jafar M Sidik
COPYRIGHT © ANTARA 2011