Pria yang kini bertugas sebagai Kepala Museum Antropologi Universitas Cenderawasih sejak 2004 itu menjadi kurator termuda menggantikan mendiang seniornya Arnold Clemens Ap.
"Baru dua kurator yang dimiliki Papua, selain saya, yang pertama ialah senior saya Arnold," katanya di Jayapura, Rabu.
Lulusan S1-S2 Antropologi Uncen itu menyebutkan kelangkaan kurator yang dimiliki Papua dilatarbelakangi sulitnya melakoni pekerjaan tersebut.
Baca juga: Presiden cermati kreativitas seni dan budaya di pembukaan PON XX Papua
"Kerja di museum itu bukan tempat yang akan mendatangkan banyak uang. Jadi kalau mau bekerja di museum, harus pakai hati dan niat untuk mengabadikan ilmu," katanya.
Selain itu, menjadi kurator juga mengharuskan seseorang menguasai beragam bidang ilmu. Tak melulu antropolog yang harus dikuasai, tapi juga ilmu-ilmu lain yang saling berkaitan satu sama lain.
Begitu menamatkan pendidikannya di Uncen, Enrico yang juga menjabat Sekretaris Pusat Studi Masyarakat dan Budaya Papua itu juga harus lebih dulu menyelesaikan sertifikasi museum tingkat dasar dan kurator tingkat nasional, baru kemudian seseorang bisa menjadi kurator.
Kelangkaan profesi seorang kurator di Papua juga mendorong Enrico dipercaya sebagai pengurus Asosiasi Museum Daerah Papua dengan menjabat sebagai sekretaris.
Enrico pun kerap dimintai masukan sesuai kepakarannya. "Misalnya ada museum di daerah lain yang memamerkan benda dari Papua, saya akan diminta untuk menjustifikasi asalnya dan latar belakangnya secara lengkap," katanya.
Tak hanya itu, sebagai kurator Enrico juga bekerja sama dengan Balai Pelestarian Budaya sebagai salah satu penulis. Sejumlah karya tulisnya mengantarkan tifa, lukisan kayu khas Sentani, juga makanan khas Merauke sagu sebagai warisan budaya tak benda.
Kepakaran Enrico juga dimanfaatkan untuk turut mendesain bangunan Gedung Negara Papua yang merupakan tempat Gubernur Papua berkantor.
"Sejumlah motif dan ornamen Papua sangat kental di Gedung Negara itu. Pagarnya mengacu pada motif Sentani, dindingnya bermotif Tifa, atapnya model rumah Honai," katanya.
Baca juga: Shalika Aurelia Viandrisa terpesona kekayaan budaya Papua
Pewarta: Andi Firdaus
Editor: Teguh Handoko
Copyright © ANTARA 2021