Bogor (ANTARA News) - Semua pihak harus memahami etika penelitian yang dipegang oleh Institut Pertanian Bogor (IPB) dalam kasus susu formula, sehingga penyelesaian hukum atas masalah ini tidak melebar dan menimbulkan dampak buruk, kata seorang pakar riset Prof Dr Satryo Brojonegoro, Kamis.

"Masyarakat perlu menyadari hal ini. Kita harus mencegah hal-hal yang bisa menimbulkan dampak buruk," kata Dr Satryo ketika dihubungi ANTARA.

Menurut mantan Dirjen Dikti Kemdiknas itu, Institut Pertanian Bogor (IPB) sudah melakukan prosedur yang benar dalam proses penelitiannya dan tidak menyebut merk dalam pengumuman hasil penelitiannya.

"Yang dilakukan IPB adalah murni penelitian akademik, yang tujuannya bukan untuk melihat produk susu mana yang mengandung bakteri berbahaya, tapi untuk melihat fenomena perkembangan bakteri sehingga bermanfaat secara ilmiah," kata Satryo yang juga Guru Besar Institut Teknologi Bandung (ITB) itu.

Selain itu, pengumuman hasil penelitian juga telah disampaikan IPB melalui jurnal-jurnal ilmiah, yang merupakan salah satu bentuk pertanggungjawaban ilmiah agar dapat dimanfaatkan lebih lanjut.

Seperti yang rilis pihak IPB, sebenarnya penelitian tersebut telah dipresentasikan oleh Dr. Sri Estuningsih sebagai peneliti pada seminar hasil-hasil penelitian di IPB tahun 2007.

Hasil penelitian itu dipresentasikan dalam kapasitasnya sebagai narasumber pada rapat penentuan standar mutu pangan di BPOM pada tahun 2006.

Penelitian yang sama juga telah dilakukan oleh Dr. Sri Estuningsih pada tahun 2003-2004 dan hasilnya telah dipublikasikan pada beberapa jurnal internasional seperti Journal of Food Protection Vol. 69 tahun 2006 dan International Journal of Food Microbiology Vol. 116 tahun 2007 dan Vol. 136 tahun 2009.

Dr Satryo yang menjabat Dirjen Dikti periode 1999-2008 itu menambahkan, dalam kasus ini harus dipisahkan antara ranah penelitian dengan ranah hukum.

Kalau pun nantinya hukum mengharuskan pengumuman merek-merek susu formula terkait penelitian itu, maka yang lebih berwenang mengumumkan adalah Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), katanya.

Namun ia berharap kasus yang sudah sampai pada keputusan MA ini dapat diselesaikan sebaik-baiknya sehingga tidak merugikan masyarakat.

Sebelumnya kepada wartawan di Jakarta, Rabu, rektor IPB Herry Suhardiyanto mengaku IPB saat ini memang berada dalam situasi yang sulit.

"Di satu sisi, kami harus menjunjung tinggi etika akademik, di sisi lain harus patuh hukum. Saya berharap akan ada jalan keluar yang berlandaskan hukum agar kami tak perlu melanggar etika akademik karena mengumumkan merek susu formula yang sampelnya dulu pernah mengandung E sakazakii," katanya.

Namun, untuk keberpihakan kepada kepentingan masyarakat, jangan ragukan concern IPB, karena salah satu tri dharma perguruan tinggi adalah pengabdian kepada masyarakat, dan IPB mempunyai sejarah panjang dalam hal pengabdian kepada masyarakat.

Menurut Herry, seandainya IPB harus mengumumkan lima sampel yang mengandung E. sakazakii dari 22 sampel yang diteliti pada tahun 2006, maka akan terjadi ketidakadilan antara merek susu formula yang diambil sampelnya yaitu 22 sampel dan merek susu formula lainnya yang tidak diambil sebagai sampel.

Hal ini karena memang yang dilakukan Dr. Sri Estuningsih bukan penelitian pengawasan sebagaimana kewenangan BPOM, melainkan penelitian isolasi yang bertujuan mempelajari tentang virulensi dan risiko yang ditimbulkan oleh bakteri E sakazakii.

(T004/A033/S026)

Editor: Suryanto
COPYRIGHT © ANTARA 2011