Tripoli (ANTARA News) - Pemimpin Libya Muamar Kadhafi Senin (21/2) waktu setempat, membantah bahwa ia telah meninggalkan negerinya, setelah pemrotes menguasai beberapa kota, sementara empat-dasawarsa kekuasaannya menghadapi serangan di tengah pernyataan tentang "pembunuhan besar-besaran" di Tripoli.

"Saya akan bertemu dengan para pemuda di Lapangan Hijau", di pusat kota Tripoli, kata Kadhafi dalam apa yang dilaporkan stasiun televisi negara sebagai siaran langsung dari rumah orang kuat Libya itu, sebagaimana dikutip dari AFP.

"Itu cuma untuk membuktikan bahwa saya berada di Tripoli dan bukan di Venezuela dan untuk membantah laporan televisi ... ," kata Kadhafi, sambil memegang oayung di bahwa curah hujan sewaktu ia melangkah masuk ke dalam mobil. Hujan mengguyur Tripoli pada Senin malam.

Itu adalah komentar pertama orang kuat Libya itu, sejak protes meletus Selasa lalu (14/2) di negara yang kaya akan minyak di Afrika Utara tersebut, tempat ia telah memerintah selama 41 tahun.

Setelah berhari-hari kerusuhan, unjuk rasa sekarang telah menyebar ke ibu kota Libya, Tripoli. Sementara itu, suara tembakan berkumandang, pemrotes menyerang kantor polisi dan kantor penyiaran negara, corong Gaddafi, serta membakar beberapa bangunan pemerintah.

Penduduk di dua kabupaten di Tripoli mengatakan melalui telefon kepada AFP di ibu kota Mesir, Kairo, telah terjadi "pembunuhan besar-besaran", dan beberapa pria bersenjata "melepaskan tembakan secara membabi-buta" di kabupaten Tajura.

Seorang lagi di Fashlum mengatakan beberapa helikopter telah mendaratkan apa yang ia sebut pembunuh bayaran Afrika yang menembaki setiap orang di jalan, sehingga banyak orang tewas.

"Ini jelas adalah akhir dari rejim ini. Ini tak pernah terjadi di Libya sebelumnya. Kami berdoa bahwa itu akan segera berakhir," kata seorang warga di Tripoli timur melalui telefon kepada wartawan AFP di Kairo.

Keprihatinan masyarakat internasional atas penindasan terhadap unjuk rasa yang tak pernah terjadi sebelumnya di Libya kian besar saat banyak peristiwa terjadi. Sementara itu kelompok hak asasi manusia menyebutkan jumlah korban jiwa antara lebih dari 200 dan 400.
(*)

Editor: AA Ariwibowo
COPYRIGHT © ANTARA 2011