Jakarta (ANTARA News) - Menteri Keuangan (Menkeu), Agus Martowardojo, mengatakan bahwa para importir film yang keberatan dengan adanya penghitungan bea masuk royalti impor film harus taat asas dan tunduk kepada hukum di Indonesia.

"Kalau misalnya ada importir yang belum melunasi kewajiban bea masuk, tentu harus diselesaikan. Kita ingin supaya impor film silakan masuk, tapi harus taat asas. Ini Indonesia, harus ikut hukum Indonesia dan taat asas," ujarnya saat ditemui di Jakarta, Kamis.

Menkeu mengharapkan kebijakan ini agar tidak dipahami secara salah oleh importir dan jajaran Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak, serta Bea dan Cukai, karena masih ada bea masuk royalti impor film yang belum dibayarkan terkait hak cipta.

"Di mana importir film itu pada saat pembayaran bea masuk atau PPN ataupun Pph 22, itu atas dasar film yang nilai fisiknya saja yang dinilai, yaitu misalnya ukuran roll-nya per meter di-kali 0,43 dollar AS. Padahal, itu harusnya ada unsur royaltinya di situ, karena itu kan bukan plastik, ada nilainya, hak cipta di situ. Jadi harusnya itu yang dibebankan," ujar Menkeu.

Ia menjelaskan, apabila ada importir film yang belum melunasi kewajiban bea masuk royalti film dan keberatan dengan hal tersebut, maka disarankan membuat surat keberatan kepada pemerintah.

"Kalau memang ada impor harus bayar bea masuk, tapi kalau misalnya ada denda, saya tahu dengan denda kita jadi khawatir, ayo kita perbaiki ke depan, tapi sekarang ini dia harus datang dulu ke Kemenkeu. Lapor ke bea cukai, terus kita selesaikan ini bagaimana," ujarnya.

Namun, apabila aturan mengenai bea masuk royalti impor film ini dirasakan terlalu berat bagi importir, maka pemerintah akan melakukan penyesuaian lebih lanjut.

"Tapi, aturannya kalau memang terlalu berat, nanti kita usulkan penyesuaian. Tapi, kalau belum disetujui ya tetap peraturan yang ada harus dilaksanakan," ujarnya.

Untuk itu Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dalam hal ini Ditjen Pajak, Ditjen Bea dan Cukai, Badan Kebijakan Fiskal beserta Kementerian Budaya dan Pariwisata akan melakukan studi agar industri perfilman terkait distribusi serta penyelenggaraan bioskop bisa membaik, sehat, kuat dan lebih profesional.

"Kita ada PR lain adalah bagaimana supaya industri perfilman Indonesia bisa membaik. Nah, itu bukan hanya pemain filmnya harus lebih professional, tapi juga, misalnya, produser dan lainnya, misalnya untuk alat produksi, utnuk impor bahan baku, itu bagaimana tata niaganya. Dan, tentu ini harapannya bukan hanya industri film saja, tapi termasuk distribusi, termasuk bioskopnya dan semua terkait industri film itu," ujarnya.

Menurut Dirjen Bea dan Cukai, Thomas Sugijata, sejak 2008 jumlah tunggakan bea masuk royalti impor film yang belum dibayar importir mencapai Rp30 miliar belum termasuk denda yang berkisar 100 hingga 1.000 persen untuk 1.759 kopi film.

"Jadi dalam dua tahun ini tambah Rp30 miliar utang mereka. Tapi itu belum termasuk denda 100-1.000 persen, untuk 1.759 kopi film," ujar dia.

Ia mengatakan, denda diberikan akibat para importir film belum memasukkan royalti dalam penghitungan bea masuk impor film.

"Kalau kurang bayarnya 25 persen maka dendanya 100 persen. Kalau kurang bayar 50 persen maka dendanya 200 persen, kalau kurangnya 100 persen maka dendanya 700 persen. Kalau kurang bayarnya lebih dari 100 persen maka dendanya 1.000 persen," ujarnya.
(T.S034/B012)

Editor: Priyambodo RH
COPYRIGHT © ANTARA 2011