Isu santet di Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur, menjadi hal yang sensitif dan dinilai gampang menggerakkan massa untuk melakukan aksi kekerasan pada warga yang dituduh memiliki ilmu santet/sihir.

Isu santet itu pula yang diduga polisi setempat sebagai latar belakang terjadinya kasus penganiayaan hingga menyebabkan korban tewas di tiga lokasi berbeda, yakni di Kecamatan Talango (Pulau Poteran), Batu Putih, dan Dasuk.

"Sejak saya menjabat Kapolres Sumenep, memang terdapat kasus penganiayaan yang menyebabkan korban tewas di tiga kecamatan yang diduga bermotif isu santet," kata Kapolres Sumenep, AKBP Susanto.

Ia mengatakan, pelaku penganiayaan yang mengakibatkan korban tewas, tidak bisa dibenarkan dengan dalil apa pun.

"Pelaku penganiayaan yang menyebabkan korban tewas, akan diproses hukum sesuai aturan main. Namun, untuk isu santet, kami juga harus melakukan langkah antisipasi supaya kasus serupa tidak terjadi di tempat lain," ujarnya.

Kapolres menyiapkan dua langkah untuk mencegah isu santet berkembang menjadi aksi kekerasan yang dilakukan massa kepada orang yang dituduh memiliki ilmu santet/sihir.

Langkah pertama adalah telah memerintahkan anggotanya di masing-masing kesatuan (polsek di 27 kecamatan di Sumenep) untuk lebih peka, ketika ada orang yang meninggal dunia di wilayahnya.

"Kami telah meminta anggota untuk turun ke lapangan, ketika ada orang yang meninggal. Cek dan pastikan matinya orang tersebut bebas dari isu santet," paparnya.

Kalau ada informasi kematian seseorang diakibatkan sebagai korban ilmu santet, kata dia, berarti kondisi tersebut harus diwaspadai, karena telah menunjukkan berkembangnya isu santet .

"Itu memang baru isu. Namun, isu santet berpotensi berkembang menjadi aksi kekerasan massa, jika tidak diredam. Kalau ada persoalan seperti itu, kami akan menginstruksikan anggota untuk memberikan perhatian khusus sekaligus memantau situasi di lapangan secara intensif," ucapnya.

Sementara langkah kedua yang dilakukan oleh polisi adalah akan bekerja sama dengan pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pimpinan Dinas Kesehatan Sumenep.

Kerja sama dengan kalangan ulama itu untuk memberikan penyadaran kepada warga supaya "tidak main hakim sendiri" dalam menyikapi isu santet.

Sementara pimpinan dan staf Dinas Kesehatan Sumenep diharapkan memberikan penjelasan secara medis terkait kematian seseorang yang dituduh menjadi korban santet.

"Persoalan yang terkait dengan isu santet memang agak sulit dicari jalan keluarnya, karena hingga sekarang belum ada metode pembuktian secara formal untuk membuktikan seseorang meninggal dunia akibat santet," kata Kapolres Susanto.

Dalam kaitannya dengan isu santet tersebut, sejak tahun 2009 hingga sekarang sesuai data di Polres Sumenep, terdapat delapan kali pelaksanaan sumpah pocong yang melibatkan warga yang menuduh seseorang telah menyantet salah seorang kerabatnya dan orang yang menjadi tertuduh.

"Pelaksanaan sumpah pocong bisa menjadi solusi meredam isu santet di kalangan warga sekaligus mencegah munculnya aksi kekerasan," kata Ketua MUI Sumenep, KH A. Shafraji.

Bahkan, kata dia, sumpah pocong merupakan solusi alternatif satu-satunya untuk menyelesaikan isu santet supaya tidak berkembang menjadi sesuatu yang berkepanjangan.

"Isu santet itu lebih bernuansa persoalan kultural. Apalagi, hingga sekarang, aparat penegak hukum memang tidak punya metode formal untuk membuktikan adanya santet. Dalam konteks ini, penyelesaian atas berkembangnya isu santet, harus dengan cara kultural yang untuk sementara adalah pelaksanaan sumpah pocong," paparnya.

Kiai Shafraji yang beberapa kali diminta menjadi pemimpin ritual sumpah pocong di sejumlah tempat, itu, mengatakan, secara kasat mata, sumpah pocong memang bisa meredam isu santet di kalangan warga.

"Ini sebenarnya persoalan lama dan sudah terjadi sejak dulu. Namun, hingga sekarang, isu santet sering berubah menjadi aksi kekerasan kepada yang tertuduh. Ini memang harus dicegah oleh semua elemen masyarakat, termasuk kami," ujarnya.

Di kalangan warga, pelaksanaan sumpah pocong sering dianggap sebagai jalan keluar bagi orang yang dituduh, untuk membuktikan tidak memiliki ilmu santet.

"Kalau orang yang dituduh memiliki ilmu santet siap disumpah pocong, biasanya warga setempat agak bisa berbaik sangka. Kami menilai sumpah pocong memang bisa menjadi solusi, bahkan untuk sementara satu-satunya solusi untuk meredam isu santet," paparnya.

Kiai Shafraji juga mengemukakan, pelaksanaan sumpah pocong yang biasanya dilakukan di masjid dan pada hari Jumat, itu, tidak dilarang oleh Islam.

"Dalam Islam, dengan mengatakan bersumpah demi Allah, sebenarnya itu sudah punya konsekuensi berat. Dalam penilaian kami, sumpah pocong itu layaknya sumpah dengan pemberatan, karena orang yang bersumpah dibungkus kain kafan layaknya mayat dan ketika bersumpah, di atas kepalanya terdapat Al Quran," katanya menambahkan.

Data di Polres Sumenep, pada tahun 2009 terdapat empat kali pelaksanaan sumpah pocong, yakni dua kali di Kecamatan Gapura, sekali di Bluto, dan sekali di Pragaan.

Kemudian tahun 2010 sebanyak tiga kali, yakni di Kecamatan Kota, tepatnya di Masjid Agung Sumenep yang penuduh dan tertuduhnya tercatat sebagai warga Pasongsongan, di Raas (1), dan di Batang Batang (1).

Sementara pada tahun ini untuk sementara baru sekali, yakni di Masjid Agung Sumenep yang penuduh dan tertuduhnya tercatat warga Ganding.


Kesadaran

Bupati Sumenep, A. Busyro Karim yang prihatin atas masih adanya aksi kekerasan berdalih isu santet di wilayahnya, menyatakan, butuh pendekatan kultural untuk mengatasi persoalan tersebut.

"Isu santet adalah persoalan kultural. Oleh karena itu, penyelesaiannya juga harus kultural dengan cara berkomunikasi dengan tokoh agama dan masyarakat secara intensif supaya bisa mencegah isu santet berkembang menjadi aksi kekerasan," katanya.

Di kalangan warga, kata dia, memang berkembang sesuatu yang membuat gampang bergerak untuk `menghakimi` orang yang dituduh memiliki ilmu santet, seperti adanya ungkapan bahwa halal `menghakimi` dukun santet.

"Ini yang harus diluruskan, karena tidak ada aturan dari negara maupun agama, yang menghalalkan orang `main hakim sendiri`. Isu santet memang hal yang sangat kompleks, apalagi hingga sekarang tidak ada yang bisa secara formal membuktikan adanya santet, kecuali yang bersangkutan mengakuinya," paparnya.

Oleh karena itu, peran tokoh agama dan masyarakat setempat untuk meredam isu santet berkembang menjadi aksi kekerasaan merupakan hal yang paling penting.

"Untuk mencegah adanya aksi kekerasan berdalih isu santet, peran serta semua elemen masyarakat sangat dibutuhkan. Kesadaran semua pihak, baik tokoh agama maupun masyarakat untuk ikut menenangkan situasi maupun warga supaya tidak terpancing isu santet, adalah hal sangat penting untuk pencegahan. Kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah," kata Bupati Busyro menegaskan.

Sementara Kiai Shafraji menilai isu santet juga bernuansa sebagai sebuah pengejawantahan sikap buruk sangka warga kepada orang yang dituduh memiliki ilmu santet.

"Namanya saja isu. Namun, untuk isu santet, efek yang ditimbulkan bisa berkepanjangan jika tidak segera ditemukan solusinya yang untuk sementara ini hanya melalui sumpah pocong, karena hingga sekarang belum ada metode formal untuk membuktikan adanya santet," katanya mengungkapkan.

Bukti isu santet juga bernuansa cerminan sikap buruk sangka warga adalah dalam beberapa kali kasus, warga yang menuduh seseorang memiliki ilmu santet ternyata tidak mau disumpah pocong.

"Kami beberapa kali diminta memimpin prosesi sumpah pocong untuk meredam isu santet di sejumlah daerah. Namun, ketika akan dilaksanakan sumpah pocong, ternyata warga yang menuduh orang lain memiliki ilmu santet tidak bersedia disumpah pocong," ucapnya menambahkan.

Kiai Shafraji menjelaskan, pihaknya punya kewajiban moral untuk mencegah terjadinya aksi kekerasan oleh massa dengan dalih apa pun, termasuk isu santet.

"Kami siap membantu polisi guna meredam isu santet berkembang menjadi aksi kekerasan massa. Selama ini pun, kami sering diajak komunikasi secara informal oleh polisi terkait adanya isu santet di kalangan warga," katanya.

Hingga sekarang, isu santet merupakan hal yang sensitif dan bisa menggerakkan banyak orang untuk "menghakimi" warga yang dituduh memiliki ilmu santet/sihir.

"Ini yang harus dicegah oleh semua elemen masyarakat. Peran tokoh agama dan masyarakat setempat sangat dibutuhkan. Kalau tokoh agama dan masyarakat bisa meredam isu santet dan `mendinginkan` situasi, kemungkinan besar tidak akan ada aksi kekerasan. Insya-Allah," katanya menambahkan.

Selama ini, kata dia, komunikasi dan koordinasi antara pengurus MUI dengan polisi dalam mengantisipasi dampak beredarnya isu santet, sudah terjalin erat.

"Hal yang harus dilakukan memang penyadaran kepada warga bahwa kekerasan tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Warga harus disadarkan untuk tidak mudah "panas" dalam menyikapi isu santet. Tidak ada dalil yang membenarkan orang untuk bertindak `main hakim sendiri`," kata Kiai Shafraji menegaskan. (DYT/J006/K004)

Oleh Oleh Slamet Hidayat
Editor: Kunto Wibisono
COPYRIGHT © ANTARA 2011