Jakarta (ANTARA News) - Pengamat politik dari Lembaga Survei Indonesia Burhanuddin Muhtadi menilai koalisi partai politik pendukung pemerintah sulit terjadi harmonisasi meskipun dilakukan perbaikan kontrak politik.

"Partai-partai politik anggota koalisi memiliki pandangan dan kepentingan yang berbeda-beda," kata Burhanuddin Muhtadi ketika dihubungi melalui telepon selulernya, Minggu.

Menurut Burhan, meskipun elit politik dari partai politik anggota koalisi menyatakan akan tetap mengawal pemerintahan hingga berakhir pada 2014 tapi realitasnya setiap partai politik memiliki kepentingan jangka pendek.

Kepentingan jangka pendek ini, kata dia, yang berpotensi membuat hubungan di antara partai politik anggota koalisi selalu terjadi dinamika.

Burhan mencontohkan, pada pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pelaksanaan Pemilu dimana di dalamnya ada klausul "parliamentary threshold" yakni batas ambang keberadaan partai politik di parlemen.

"Pada pembahasan RUU ini partai-partai politik anggota koalisi akan mengusulkan angka yang berbeda-beda sesuai dengan kepentigan masing-masing partai politik," katanya.

Burhan menambahkan, pada pembahasan RUU lainnya serta pada pemilihan kepala daerah, partai-partai politik anggota koalisi bisa terjadi dinamika.

Di antara partai-partai politik anggota koalisi terjadi dinamika terutama ketika dua partai politik anggota koalisi, yakni Partai Golkar dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), mendukung usulan hak angket pajak.

Usulan hak angket pajak itu dibatalkan Partai Demokrat yang dibantu empat partai politik lainnya, pada rapat paripurna DPR RI, 22 Februari 2011.

Setelah pembatalan usulan hak angket pajak tersebut terjadi hiruk-pikuk politik, seperti deakan agar Partai Golkar dan PKS keluar dari koalisi, dan saat ini usulan dilakukannya perbaikan kontrak politik.(*)

(ANT/R024)

Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2011