Oleh Hernawan W. dan Dinar Nevanti

Semarang (ANTARA News) - Hari Senin (26/1), masyarakat Tionghoa di Indonesia akan merayakan Tahun Baru Cina 2560 atau lebih dikenal dengan istilah Imlek, yang sejak zaman Dinasti Han (202 SM) di China merupakan tradisi agama Konghucu yang sangat sakral dan bermakna.

Bagi pemeluk Konghucu, Imlek merupakan hari raya keagamaan untuk memperingati kelahiran Konfusius (Gong Zi).

Namun, di negaranya sendiri Imlek lambat laun tidak lagi dianggap sebagai perayaan keagamaan. Seluruh etnis Tionghoa, tidak terbatas pada pemeluk Konghucu saja turut serta dalam perayaan Imlek.

Tahun Baru Imlek atau Sin Tjia (bahasa China) dirayakan pada hari pertama di bulan pertama kalendernya. Bagi etnis Tionghoa, makna perayaan Imlek adalah semangat memperbarui diri menyambut datangnya tahun baru.

Di Indonesia perayaan Imlek baru bisa dinikmati oleh etnis Tionghoa pada masa pemerintahan Presiden RI periode 1999-2001, K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), tepatnya pada tahun 2000 dengan mencabut Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 1967 yang melarang etnis Tionghoa merayakan Imlek di Indonesia.

Inpres Nomor 14/1967 dikeluarkan Presiden RI periode 1966-1998, Soeharto, lantaran situasi dan kondisi politik saat itu, antara lain Pemerintah China dianggap ikut menyebarkan ajaran komunis --yang dilarang pemerintah Orde Baru (Orba)-- ke Indonesia.

Pakar budaya Universitas Diponegoro (Undip), Semarang, Prof Dr Ir Eko Budihardjo MSc, menilai langkah Gus Dur pada masa itu sangat baik, di mana pergelaran-pergelaran seni budaya Cina yang sempat dilarang, kemudian bisa ditampilkan lagi secara bebas.

"Bangsa yang sukses adalah bangsa yang mau mengakui keberagaman," kata mantan Rektor Undip itu.

Seiring dengan perkembangannya, perayaan Imlek yang dulunya hanya dirayakan oleh etnis Tionghoa saja, kini berubah menjadi sebuah bentuk kebudayaan yang tidak terbatas kepada satu jenis etnis tertentu.

Perayaan Imlek di Indonesia kini lebih terbuka dan menjadi sebuah bentuk kebudayaan yang bersifat universal.

Perayaaan ini pun menjelma menjadi perayaan yang bersifat nasional, tanpa mengenal perbedaan suku, ras, agama, dan latar belakang budaya yang berbeda-beda.

Di Kota Semarang, perayaan Imlek diprakarsai oleh Komunitas Pecinan Semarang Untuk Pariwisata (Kopi Semawis), yang melaksanakan revitalisasi Pecinan sejak lima tahun lalu. Kegiatan ini mempunyai tujuan merangkai objek-objek atau atraksi yang ada di Pecinan supaya menjadi lebih menarik untuk dikunjungi.

Perayaan yang dipusatkan di kawasan Pecinan Semarang ini, meliputi kawasan klenteng Tay Kak Sie, Gang Lombok, Gang Pinggir, dan Wotgandul Timur, dimeriahkan dengan partisipasi berbagai pihak, tidak hanya oleh etnis Tionghoa saja.

"Keterbukaan dan beragam ekspresi budaya dalam perayaan Imlek di Semarang merupakan sebuah mozaik yang indah dan mencerminkan adanya persatuan," kata Eko.

Ia menuturkan, dari segi perayaan, Imlek mengalami perkembangan dengan ragam kegiatan yang lebih variatif.

Perayaan Imlek dahulu hanya menampilkan tari-tarian barongsai, wushu, wayang Potehi, dan pergelaran-pergelaran yang berasal dari tradisi China saja.

Namun kini, perayaan Imlek juga diisi dengan pameran budaya, talk show, pergelaran budaya lokal, seperti lawak Semarangan, sajian musik yang bersifat tradisional, dan lain-lain.

Pergeseran bentuk perayaan Imlek tersebut dinilai positif karena di perayaan semacam inilah masyarakat Indonesia bisa membaur, tanpa terkotak-kotak oleh apapun.

Nilai persatuan dalam perayaan Imlek dicerminkan melalui partisipasi berbagai pihak di Pasar Imlek Semawis (PIS) 2009. Misi di balik PIS adalah menyajikan pergelaran-pergelaran yang bersifat nasional, di samping menjadi agenda rutin pariwisata Kota Semarang.

"Imlek bisa dirayakan oleh semua orang, tanpa peduli datang dari suku mana, karena ini merupakan tradisi yang bersifat netral," kata Ketua Panitia PIS 2009, Dharmadi Hardo.

PIS 2009 menjadi saksi adanya multikulturalisme dalam perayaan Imlek karena banyak melibatkan warga non-Tionghoa.

Hal ini bisa dibuktikan dengan banyaknya pemain barongsai yang ternyata bukan keturunan Tionghoa, melainkan warga asli Indonesia.

Dulunya, barongsai dianggap sebagai bagian sakral dalam Imlek karena dimaksudkan untuk menarik rezeki dan kebahagiaan pada tahun baru, sehingga dahulu permainan ini hanya boleh dimainkan oleh warga Tionghoa saja.

Tetapi dalam perkembangannya, khususnya di Indonesia, kini permainan barongsai juga dimainkan oleh warga non-Tionghoa.

Rio (18), seorang pemain barongsai non-Tionghoa yang pentas pada Jumat malam (23/1) di PIS, mengaku sudah bergabung dalam tim barongsainya sejak usia 10 tahun.

"Awalnya ketika saya kelas IV SD, saya tertarik dengan olahraga wushu. Kemudian saya bergabung dengan salah satu klub wushu dan barongsai di Kota Semarang. Ini merupakan hobi yang sangat menyenangkan," katanya.

Ia menjelaskan, dalam tim barongsainya yang terdiri dari delapan orang, hanya dua orang yang asli Tionghoa, sisanya non-Tionghoa. Motif ekonomi bukanlah alasan yang mendorong ia dan teman-temannya menjadi pemain barongsai, tetapi mereka memang menyenangi permainan itu.

Multikulturalisme yang terjadi dalam perayaan Imlek juga dibuktikan dengan penampilan murid SD Kuncup Melati, Yayasan Khong Kauw Hwee, yang kebanyakan berasal dari etnis non-Tionghoa. Mereka membawakan lagu Indonesia Pustaka dalam bahasa Mandarin.

Selain itu, penampilan kelompok lawak Semarangan, kelompok "marching blek", dan ragam budaya di luar tradisi Cina menekankan sekali lagi bahwa perayaan Imlek bukanlah perayaan milik etnis Tionghoa saja.

Ratusan pengunjung yang datang ke PIS 2009 menyatu dalam perayaan yang digelar pada tanggal 22-24 Januari 2009 tersebut, tanpa peduli perbedaan etnis, budaya, agama, dan lain-lain.

Sekat kesukuan pun mampu ditepiskan, diganti dengan pergelaran apik dengan budaya yang beragam.

Seperti kata Soekarno, presiden pertama Republik Indonesia, "taman yang berwarna-warni dengan beragam bunga yang indah tentu lebih menarik daripada hutan dengan satu pohon".

Perayaan Imlek kini menjadi salah satu bukti indahnya keberagaman budaya yang ada di Indonesia. (*)

Editor: Priyambodo RH
COPYRIGHT © ANTARA 2009