Palembang (ANTARA News) - Seorang pengusaha di Palembang, Sumatera Selatan, Kamis, menyampaikan pengaduan atas dugaan terjadi rekayasa dalam penanganan perkaranya oleh oknum peneliti Kejaksaan Agung RI dan oknum penyidik Badan Reserse Kriminal Mabes Polri.

"Ya, saya telah melaporkan dugaan rekayasa perkara sehingga menjadikan saya sebagai tersangka, padahal sejak awal justru saya yang mengadukan adanya tindakan melawan hukum dilakukan pihak lain," kata H Mularis Djahri, Direktur PT Campang Tiga, saat mendatangi kantor Biro ANTARA Sumsel, di Palembang, Kamis petang.

Menurut dia, berkas laporan adanya indikasi rekayasa perkara sedang dihadapinya itu, hari ini telah disampaikan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Sumsel.

Berkas laporan tersebut, juga segera disampaikan antara lain kepada Kejaksaan Agung, Kepala Polri, Ketua Komisi III DPR RI, dan Satgas Mafia Hukum di Jakarta.

"Semula saya masih diam, tapi setelah pengaduan saya beberapa tahun lalu, justru sekarang saya dijadikan tersangka," kata mantan polisi yang juga pernah menjadi penyidik itu.

Dalam dokumen berkas laporan itu, Mularis secara terang-terangan menyebutkan rinci nama-nama peneliti Kejaksaan Agung (Kejagung) dan penyidik Bareskrim Mabes Polri yang menurut dia, ditengarai telah melakukan rekayasa atas kasus yang semula justru dilaporkan tapi malah menjadikan dirinya sebagai tersangka itu.

Pada Rabu (13/4), Mularis yang berstatus tersangka, datang ke Kejati Sumsel berkaitan dengan tindaklanjut pelimpahan kasus tindak pidana Pasal 47 ayat (1) Undang Undang RI No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, antara lain disangka telah melanggar larangan melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan atau aset lainnya penggunaan lahan perkebunan tanpa izin.

Mularis menjelaskan, kasus dialaminya berdasarkan laporan dari pihak PT Laju Perdana Indah (LPI) ke Kabareskrim Mabes Polri pada 22 November 2007 lalu, atas tuduhan melakukan penyerobotan tanah perusahaan perkebunan tebu dari Salim Grup itu.

Dia disangka telah menggunakan lahan perkebunan seluas sekitar 4.384 hektare (ha) tanpa izin PT LPI yang berhak mengelola areal di Campang Tiga Ilir, Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) Timur, Sumsel sesuai dengan Hak Guna Usaha (HGU) diperoleh pada lahan seluas 21.502 ha, termasuk areal yang justru dinyatakan oleh Mularis sebagai kepemilikannya itu.

"Bagaimana mungkin saya dijadikan tersangka melakukan penyerobotan lahan oleh PT LPI, padahal lahan tersebut adalah milik saya," ujar dia.

Ia mempersoalkan penanganan perkara itu, mengingat sebelumnya PT LPI telah lebih dulu dilaporkannya pada 17 Oktober 2005 ke Polda Sumsel, karena dituding telah membuat sertifikat HGU No. 3 Tahun 2002 dengan peta lampiran surat ukur palsu.

"Anehnya, atas laporan itu, pada 5 Oktober 2007 Polda Sumsel mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan atau SP3 dengan alasan bukan tindak pidana," kata Mularis pula.

Dia kemudian masih berusaha melaporkan pimpinan PT LPI ke Kabareskrim Mabes Polri pada 31 Maret 2010 atas tudingan telah membuat peta lampiran surat ukur palsu di Desa Campang Tiga Ilir, Kabupaten OKU Timur.

Ia juga melaporkan pengacara/kuasa hukum PT LPI ke Mabes Polri, sehingga kedua laporan tersebut oleh Mabes Polri dilimpahkan ke Polda Sumsel.

Namun ternyata, proses hukum selanjutnya justru menetapkan Mularis sebagai tersangka tindak pidana penyerobotan lahan PT LPI, sehingga oleh Polda Sumsel kasusnya diteruskan ke Kejati Sumsel.

"Saya sudah datangi Kejati Sumsel dan minta ditahan kalau benar kasus itu telah memenuhi bukti materiil yang diperlukan. Tapi saya juga minta agar barang bukti yang diperlukan bisa dihadirkan dan sekaligus disertakan, termasuk dokumen HGU aslinya," kata dia lagi.

Pihak Kejati Sumsel melalui Asisten Pidana Umum Sucipto SH menyatakan, pelimpahan berkas tersangka Mularis yang mereka terima belum lengkap, sehingga perlu dilengkapi lagi.


Persoalkan Lagi HGU

Mularis pun kembali menyoal dugaan pemalsuan surat menyurat yang menjadi dasar dalam penetapan HGU PT LPI No. 03 Tahun 2002 seluas 21.502 ha yang dinilainya tidak sesuai dengan SK Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Nomor 2/HGU/BPN/2002.

"Kami mengetahui masalah itu, setelah pada tahun 2005, PT Campang Tiga tidak dapat mengurus HGU dan mendapatkan keterangan dari Kanwil BPN Sumsel bahwa tanah yang dimohonkan sudah terpetakan oleh PT LPI sebagian, sehingga berupaya mencari bukti-buktinya," kata dia pula.

Menurut dia, sertifikat HGU PT LPI itu diterbitkan tidak sesuai keputusan Kepala BPN, karena tidak melampirkan peta bidang tanah yang telah diukur dan ditetapkan sebelumnya, masing-masing seluas 9.152 ha dan 12.350 ha yang berada pada enam desa, yaitu Desa Bitung, Cempaka, Nirwana, Burnai Mulya, Kota Tanah, dan Margorejo, Kecamatan Cempaka, Kabupaten OKU.

Peta bidang tanah yang dilampirkan telah diganti berdasarkan surat ukur dari BPN Kabupaten OKU, dengan menambahkan empat desa lain ke dalamnya, yaitu Desa Campang Tiga Ilir, Campang Tiga Ulu, Tanjung Kukuh, dan Taraman menjadi total 10 desa.

Padahal, lanjut dia, seharusnya peta bidang tanah yang dilampirkan berdasarkan hasil pengukuhan atas perolehan hak dan peta kadasteral yang dibuat oleh BPN Pusat.

Setelah selesai peta kadasteral, ukurannya sudah tidak berubah lagi atas batas tanah dan isinya.

"Kami menduga bahwa prosedur penerbitan HGU PT LPI itu mengalami cacat hukum, sehingga produknya berupa sertifikat HGU yang diterbitkan Kepala BPN menjadi batal demi hukum," kata dia pula.

Apalagi, menurut dia, sudah ada putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Palembang tentang pembatalan sertifikat HGU tersebut berdasarkan gugatan pihak lain, sesuai dengan putusan pada 29 Februari 2009.

"Areal lahan seluas 4.384 ha di Desa Campang Tiga Ilir yang saya kelola, sejak awal merupakan kebun milik kami dan ada dokumen alas hak atas tanah yang kami pegang sampai sekarang," kata Mularis lagi.

Dia mengingatkan, seharusnya PT LPI mendapatkan HGU pada lahan yang tidak dimiliki dan dikelola pihak lain serta bukan pada areal yang masih bermasalah.

Mularis menegaskan, kendati dirinya telah ditetapkan sebagai tersangka dan harus menjalani proses hukum selanjutnya, dia mengaku tidak gentar dan akan terus memperjuangkan keadilan dan tegaknya hukum sebagaimana mestinya.

"Saya akan buka dan beberkan indikasi rekayasa penanganan perkara ini, sekaligus indikasi adanya tindak pidana dalam penerbitan HGU PT LPI tersebut kepada pihak berwenang," ujar dia lagi.

Namun untuk mengkonfirmasi semua laporan Mularis tersebut, belum diperoleh penjelasan lebih lanjut dari pihak PT LPI selaku pihak pelapor dan pihak yang dilaporkan HGU-nya masih bermasalah, maupun Kejati dan Polda Sumsel yang menangani perkara ini.(*)

(T.BO14/Z002)

Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2011