Arbil (ANTARA News) - Sedikitnya 35 orang, termasuk tujuh polisi, terluka dalam bentrokan antara demonstran dan pasukan keamanan di kota Sulaimaniya di Irak utara, menurut polisi dan sumber rumah sakit.

Wilayah semi-otonomi Kurdi, yang selama beberapa dasawarsa didominasi oleh dua partai politik, telah menyaksikan demonstrasi terus-menerus dalam beberapa bulan belakangan ini terhadap korupsi dan ketidakbebasan, yang diilhami oleh demonstrasi di negara Arab lainnya, demikian Reuters melaporkan.

Bentrokan itu meletus ketika polisi, yang berusaha untuk mengusir demonstran dari sebuah lapangan penting, melepaskan tembakan dan menggunakan tongkat serta gas air mata, sehingga melukai sekitar 28 demonstran, kata polisi dan beberapa saksi.

Rekawt Hama Rasheed, kepala kantor kesehatan di Sulaimaniya, kota terbesar kedua di wilayah itu, mengatakan rumah sakit telah menerima 35 orang terluka, termasuk tujuh demonstran yang menderita karena luka tembakan peluru dan yang lain luka karena terkena tongkat dan gas air mata.

Tujuh polisi menderita karena terpapar gas air mata, kata Rahseed.

Dua wartawan terluka, termasuk seorang kamerawan yang tertembak ketika sedang meliput bentrokan itu, kata Rahman Gharib, seorang redaktur di surat kabar mingguan Kurdi, Hawalati.

"Wartawan Chunour Mohammed tertembak ketika berusaha untuk mengambil foto seorang demonstran yang terluka. Ia terkena peluru di tangannya," kata Gharib. "Kami mengecam tindakan pemerintah itu."

Presiden Kurdistan, Masoud Barzani, ulan lalu telah mengumumkan rencana untuk merombak pemerintah daerah itu dan melakukan pembaruan, tapi demonstran mengatakan hal itu belum memenuhi tuntutan mereka.

Nasik Qadir, juru bicara demonstran, mengatakan pasukan keamaman telah menembak ke arah demonstran. Tapi seorang pejabat keamanan yang minta untuk tidak disebutkan namanya menyatakan tembakan itu ditembakkan ke udara untuk membubarkan demonstran yang melemparkan batu.

"Pemerintah berusaha dari waktu ke waktu untuk menyerang demonstran damai dengan menggunakan kekuatan karena itu adalah satu-satunya bahasa yang pemerintah akui, ketimbang dialog," ujar Qadir.

Kelompok hak asasi manusia Amnesty International mengatakan tahun lalu bahwa pasukan keamanan telah menggunakan kekuatan secara berlebihan terhadap demonstran damai di Irak.

Kedua partai yang membagi kekuasaan di daerah yang sedang berusaha untuk mendapatkan otonomi itu masing-masing memimpin bekas milisi gerilyawan yang telah mendapat status pasukan keamanan regional. (S008/K004)

Editor: Kunto Wibisono
COPYRIGHT © ANTARA 2011