Jakarta (ANTARA News) - Siang itu Jakarta serasa memiliki 13 matahari, panasnya tak terkecuali terasa di sebuah kompleks bangunan berlantai empat yang mulai pudar catnya. Sebagian tembok ditutupi lumut, warna temboknya pun beragam ada biru, orange dan putih. Tujuh gerobak sampah berjejer diujung gedung bangunan.

Ruas gang jalannya hanya mampu dilalui dua orang dan beberapa jemuran  sebagai "penyambut" di muka rumah. Jarak rumah yang berdekatan membuat sinar mentari tak sepenuhnya menyinari membuat rumah itu terlihat remang-remang di kompleks Rumah Susun (Rusun) Kebon Kacang, Tanah Abang, Jakarta Pusat.

"Saya suka, nyaman dan senang tinggal disini," kata  Zaenal Abidin yang sudah berada 25 tahun tinggal di rumah susun Perumnas tersebut.  Dia membantah anggapan jika kehidupan  rumah susun itu kumuh, tidak aman dan identik dengan orang miskin.

"Kata siapa kumuh, setiap minggu ada jadwal kerja bakti yang teratur dan aman tidak ada maling. Miskin? coba you datang  jam tujuh malam dan hitung ada berapa mobil," katanya. Hampir setiap rumah memiliki AC dan  beberapa memiliki parabola.

Zaenal mengatakan jika malam hari mobil berjejer tanpa garasi  seperti gambaran di negara maju.

Hanya sebagian kecil saja masyarakat yang memilih tinggal di rumah susun. Kebanyakan masyarakat memilih untuk membeli rumah di atas tanah. Padahal, Pemerintah RI mencanangkan membangun 1000 tower rusun di 10 kota besar di Indonesia.

Menurut Andrianof A. Chaniago, pengamat kebijakan publik,  hal itu akibat masih kuatnya paradigma masyarakat bahwa tempat tinggal seperti rumah harus ada pekarangan.

"Masyarakat harus siap dengan ruang yang sangat efisien," katanya.

Rumah susun adalah jawaban atas terbatasnya lahan untuk pemukiman di daerah perkotaan karena mahalnya harga tanah di kota besar. Namun, mengubah paradigma tersebut bukan hal mudah, termasuk dirasakan Perum Perumnas.

Perumnas sejak tahun 1974 hingga- 1980-an membuat  hampir 300 proyek perintis kota dan 150 proyek di kota besar.

"Program 1000 tower sudah tidak lagi dikumandangkan pemerintah sehingga orang tidak mau lagi tinggal di rumah susun" kata Ir. Himawan Arief Sugoto, MT, Direktur Utama Perum Perumnas ketika diwawancarai ANTARA News.

Menurut dia, pemerintah seharusnya melancarkan kampanye agar orang mau pindah ke rumah susun karena harganya yang terjangkau.

Himawan mencotohkan Thailand dan Singapura yang telah menghabiskan dana jutaan dolar hanya untuk mempromosikan rumah susun dan mengedukasi masyarakat agar ingin pindah kesana.

"Mengedukasi suatu masyarakat lebih mudah di kawasan tertentu dibanding masyarakat yang menyebar di gang-gang," katanya.

Himawan mencontohkan kesuksesan negara tetangga Singapura dalam menyuksesikan rumah susun. Saat Lee Kuan Yew selesai dilantik sebagai Perdana Menteri Singapura,  dia langsung menjalankan program kerja  menyediakan rumah sehat untuk warga Singapura.

Mengutip Wikipedia, Lee Kuan Yew adalah Perdana Menteri Singapura dari tahun 1959 - 1990. Dia tetap menjadi tokoh politik yang berpengaruh di Singapura sejak pengunduran dirinya sebagai perdana menteri.

"Bagaimana orang Singapura akan tinggal nyawan jika tidak memiliki rumah, sehingga timbul gagasan bagaimana cara merumahkan masyarakat," kata Himawan mengutip perkataan Lee Kuan Yew.

Pertama kali, dia melanjutkan, ketika program itu berjalan tingkah laku masyarakat Singapura saat itu masih "kampungan" seperti baju jemuran dimana-mana bahkan hewan ternak babipun dibawa ke dalam rumah. Namun seiring berjalannya waktu dan edukasi dari pemerintah perilaku mereka akan berubah.

"Perilaku masyarakat itu akan berubah seiring berjalannya waktu, itulah evolusi. Singapura saja melalui proses selama 60 tahun," katanya.


Perumnas dan Pemerintah
Hal yang harus dilakukan Perumnas, kata  Himawan, adalah  membangun rumah susun yang layak dan memastikan program itu berjalan.

"Kelemahan kita selalu berganti sistem atau program, menurut saya semua program yang ada dijalankan kembali dan masalah pada koordinasi sektoral lebih dipadukan," katanya.

Dia mengemukakan Perumnas membutuhkan tiga hal untuk memobilisasi program rumah susun. Pertama, Perumnas membutuhkan payung hukum yang jelas untuk merelokasi.

Hal kedua adalah adanya  lahan yang harus bagus dan ketiga adalah  partisipasi pemerintah lokal misalnya dalam rti penyediaan infrastruktur untuk kepentingan teknis pembangunan.

"Berikanlah kami (Perumnas) cadangan lahan, maka kami akan lebih efisien untuk menciptakan produksi dan mengontrol harga rumah," katanya.

Proyek pembangunan rumah susunpun bisa mengatasi pengangguran di Indonesia karena akan banyak menyerap pekerja bangunan dan banyak industri bangunan lokal yang banyak diuntungkan.

"Housing akan mengkonsumsi semen sebesar 40 %, industri semen lokalpun akan diuntungkan," katanya.
(Adm/A038)

Oleh Adam Rizallulhaq
Editor: Aditia Maruli Radja
COPYRIGHT © ANTARA 2011