Palangkaraya (ANTARA News)  - Proyek REDD+ atau Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan perlu melibatkan masyarakat setempat, kata Administrator Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Program Pembangunan (UNDP), Hellen Clark, di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Rabu.

"Yang diutamakan oleh UNDP dalam program ini adalah bagaimana pemerintah juga memperhatikan keikutsertaan masyarakat," katanya didampingi Gubernur Kalimantan Tengah Agustin Teras.

Clark, yang mantan Perdana Menteri (PM) Selandia Baru, juga mengatakan bahwa REDD+ seharusnya dapat memberikan manfaat bagi masyarakat setempat.

"Indonesia dalam tahap kemajuan untuk program ini, yang penting adalah melakukan konsultasi dengan para pemangku kepentingan setempat dan menetapkan moratorium dalam dua tahun," jelas Clark.

Teras Narang mengatakan bahwa pihaknya sedang mengupayakan sosialisasi proyek REDD+ bagi masyarakat di wilayahnya.

"Kami mengumpulkan seluruh pemangku kepentingan baik masyarakat maupun pihak lain untuk diberi pemahaman mengenai proyek REDD+, tidak ada batas waktunya" katanya.

Menurut Teras Narang, pihaknya berupaya untuk terus melakukan sosialisasi hingga seluruh masyarakat di kawasan hutan Kalteng paham mengenai mekanisme REDD+.

Luas provinsi Kalteng mencapai 153.364 kilometer persegi dengan tutupan hutan mencapai 64,04 persen dari wilayah.

REDD+ berangkat dari penelitian ilmuwan bahwa emisi dari deforestasi dan degradasi hutan menyumbangkan 20 persen emisi gas rumah kaca secara global setiap tahun.

Proyek yang mulai diusulkan pada Konperensi Perubahan Iklim ke-13 di Bali pada 2007 dan disempurnakan pada KTT Kopenhagen 2009 tersebut berisi mekanisme bagi negara berkembang dan kaya hutan untuk memperoleh imbalan dari negara maju karena melestarikan hutannya.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) Kelompok 20 Negara (G20) di Pittsburgh, Amerika Serikat, pada September 2009 mengajukan secara sukarela upaya pengurangan emisi karbon Indonesia sebesar 26 persen pada 2020 termasuk dengan menggunakan mekanisme REDD.

Pada Mei 2010, Presiden Yudhoyono dan PM Norwegia, Jens Stoltenberg, melakukan penandatanganan Letter of Intent (LoI) mengenai REDD+ menyangkut penyempurnaan dari mekanisme REDD dengan hibah senilai satu miliar dolar AS, dan menetapkan Kalimantan Tengah sebagai proyek percontohan.

"Indonesia memiliki kesempatan untuk sukses dalam program REDD+ terlebih karena Presiden SBY sudah menetapkan target yang tinggi mengenai pengurangan emisi," tambah Clark

Menurut Manajer Proyek Nasional REDD+ Indonesia, Heracles C. Lang, yang baru dilakukan saat ini adalah proyek pada tahap persiapan implementasi.

"Ada tujuh tindakan yang dilakukan oleh UNDP di Kalteng yaitu pembentukan badan nasional, penyiapan strategi komunikasi, mengumpulkan para pemangku kepentingan, menyiapkan instrumen pendanaan, melakukan pengawasan,pelaporan, dan validasi, menetapkan provinsi percontohan serta moratorium penebangan hutan," jelasnya.

Dana yang digunakan untuk tahap tersebut senilai 30 juta dolar AS.

"Semua tahap sudah berjalan selain moratorium karena masih menunggu keputusan presiden," katanya.

Seorang pemangku adat (damang) kecamatan Kahayang Tengah yang masuk dalam kawasan bekas penanaman lahan gambut sejuta hektar, Paerlenjun (59), mengatakan bahwa pihaknya sudah mendapatkan informasimengenai proyek penanaman hutan.

"Saya sudah mengetahui hal itu tapi sebenarnya sebelum proyek itu diterapkan, kami sudah menanami hutan bila kami akan membuka ladang yang baru," katanya menambahkan.
(T.KR-DLN/M027)

Editor: Priyambodo RH
COPYRIGHT © ANTARA 2011