Jakarta (ANTARA) - Masa pandemi COVID-19 yang telah berlangsung hampir selama dua tahun terakhir merupakan masa-masa penuh ketidakpastian dalam setiap kehidupan manusia di muka bumi.

Dalam periode ini, masa depan aktivitas luar ruangan betul-betul menemui tantangan seiring dengan upaya penanganan pandemi melalui pembatasan kegiatan.

Namun, pembatasan aktivitas itu justru menimbulkan peluang baru dalam sistem pembayaran digital yang telah berkembang selama beberapa tahun terakhir.

Karena adanya pandemi, percepatan pembayaran secara nirsentuh untuk setiap transaksi ekonomi mau tidak mau dilakukan, seiring dengan integrasi keuangan digital yang berkembang pesat.

Terkait hal itu, Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas moneter terus mendorong proses digitalisasi ini untuk inklusi keuangan, mempercepat pemulihan ekonomi dan mendorong perekonomian domestik.

Potensi keuangan digital sebetulnya sangat besar mengingat momentum ekonomi digital Indonesia diperkirakan mencapai 70 miliar dolar AS dan bakal berlimpah pada 2025.

Kondisi itu mulai terlihat di masa pandemi terutama transaksi digital yang melibatkan perusahaan jasa sistem pembayaran, termasuk uang elektronik, maupun oleh e-commerce.

Penguatan ekosistem ekonomi digital juga terjadi melalui peran perusahaan teknologi berbasis finansial (tekfin) terutama di crowd funding maupun peer-to-peer lending.

Tidak mengherankan apabila Kementerian Keuangan-BI ikut memasukkan agenda penguatan sistem pembayaran di era digital dalam agenda prioritas jalur keuangan di Presidensi G20.

Pengelolaan risiko digitalisasi juga terus dilakukan untuk mengatasi munculnya shadow banking, pencurian data pribadi, ancaman serangan siber, atau pinjaman online (pinjol) ilegal.

Salah satu capaian penting dalam digitalisasi sistem pembayaran adalah Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) sebagai satu-satunya standar yang berlaku untuk pembayaran di negeri ini.

Selama ini, QRIS telah dikembangkan oleh industri sistem pembayaran bersama dengan bank sentral agar proses transaksi dengan QR Code dapat lebih mudah, cepat, dan terjag​a keamanannya.

Perluasan QRIS sebagai aplikasi pembayaran juga sudah dilakukan di seluruh toko, pedagang, warung, parkir, tiket wisata maupun donasi (merchant) berlogo QRIS.

Kepala Grup Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI Retno Ponco Windarti mengatakan UMKM pengguna QRIS telah mencapai 13 juta merchant hingga November dan telah melebihi target 2021.

Retno mengungkapkan bahwa pengguna QRIS selama ini didominasi oleh pelaku usaha mikro dan kecil yang membuktikan layanan pembayaran digital ini sudah menyasar seluruh lapisan masyarakat.

"Sekitar 88 persen ini dilakukan usaha mikro dan kecil sehingga diharapkan bisa membantu masyarakat menjalankan usahanya di masa pandemi," ujarnya.

BI terus memperluas fitur-fitur dari QRIS yang memenuhi kebutuhan preferensi masyarakat agar jumlah pengguna makin bertambah dan masyarakat terus menggunakan layanan ini.

Sosialisasi

Berbagai upaya juga dilakukan BI untuk menyosialisasikan QRIS, termasuk dengan melaksanakan program Sehat, Inovatif, dan Aman, Pakai (SIAP) QRIS bekerja sama dengan Kementerian Perdagangan.

Melalui program ini, BI mengharapkan penggunaan QRIS dapat makin masif di pasar tradisional maupun pusat perbelanjaan di sejumlah kabupaten kota seluruh Indonesia.

Salah satu pasar yang menjadi sasaran untuk sosialisasi ini adalah Pasar Kapasan di Surabaya, Jawa Timur, yang menjadi salah satu pasar grosir dan kulakan terbesar di Indonesia bagian timur.

Menurut Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Jawa Timur, Budi Hanoto, implementasi QRIS ini sebagai perwujudan kebhinekaan dan sinergi untuk memperluas akseptasi pembayaran digital.

Terdapat empat bank yang ikut terlibat dalam proses kemudahan layanan pembayaran digital di pasar ini yaitu Bank Mandiri, Bank Jatim, BNI dan BCA.

"Transaksi secara nontunai dengan QRIS menjadi salah satu alternatif solusi yang berkelanjutan untuk menjaga akselerasi pemulihan ekonomi," kata Budi.

Hingga pertengahan November 2021 tercatat sebanyak 400 pedagang di Pasar Kapasan telah mengaktifkan QRIS, yang diharapkan dapat memberikan kemudahan bagi pedagang dan masyarakat di pasar rakyat.

Selain itu, program ini telah menyasar sebanyak 437 pedagang dari 615 pedagang di salah satu pasar utama di Kota Sorong, Papua Barat yaitu Pasar Sentral Remu.

Deputi Kepala Perwakilan Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Papua Barat, James Wilson L. Tobing, mengatakan QRIS dapat menjadi pembayaran non tunai yang cepat, aman, murah.

Selain itu, pemanfaatan transaksi digital ini membuat masyarakat tidak perlu membawa uang tunai dalam jumlah banyak saat berbelanja di pasar tradisional.

Untuk mendukung QRIS, pihak perbankan telah menyediakan 37 agen di area Pasar Remu guna membantu proses top up uang elektronik, cash out, transfer dana hingga pembayaran tagihan dan pajak.

BI mengharapkan pemanfaatan QRIS sebagai kanal pembayaran dapat tumbuh lebih optimal dibandingkan setahun terakhir yang tercatat mencapai Rp2,13 triliun atau tumbuh 163,5 persen (yoy).

Saat ini, penerapan QRIS tengah dilakukan uji coba interkoneksi dengan Thai QR Payment dari Thailand. Kedepannya, BI juga berencana memperluas QRIS ke Filipina, Malaysia, dan Singapura.

Regulasi

Namun, masih terdapat tantangan jangka pendek yang memerlukan pembenahan dalam pelaksanaan QRIS, meski layanan ini berpotensi untuk mendorong transaksi ekonomi digital.

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Thomas Dewaranu menyebutkan perkembangan aktivitas ekonomi nirtunai harus dibarengi dengan upaya untuk mendukung keamanan dan pertumbuhan di sektor digital.

Ia juga mengharapkan adanya upaya untuk meminimalisir ketimpangan akses teknologi informasi dan komunikasi (digital divide) serta kemampuan digital antar daerah dan antar konsumen di Indonesia.

Tanpa pembenahan itu, maka peningkatan transaksi ekonomi digital termasuk pemanfaatan QRIS hanya akan dinikmati masyarakat dengan akses internet dan layanan e-commerce yang berada di perkotaan.

Selama ini, ketimpangan akses teknologi informasi dan komunikasi dan kemampuan digital dapat menjadi hambatan dalam meningkatkan penetrasi ekonomi digital.

"Selain memastikan masyarakat punya akses, harus juga dipastikan bahwa mereka mengerti cara memanfaatkan layanan-layanan digital beserta risikonya," kata Thomas.

Tidak hanya itu, upaya lain untuk menciptakan peluang ekonomi di kota kecil yang jauh dari pusat ekonomi juga membutuhkan kesiapan regulasi yang memadai.

Salah satu regulasi yang dibutuhkan adalah RUU Perlindungan Pribadi yang saat ini sedang dibahas oleh DPR dan pemerintah untuk melindungi konsumen dari bahaya transaksi pembayaran digital.

Regulasi itu harus memastikan konsumen mendapatkan pengetahuan serta perlindungan yang konsisten untuk data pribadi dan transaksi, baik secara langsung maupun online.

Tentunya, peraturan tersebut tidak kuno dan mampu mengakomodasi perkembangan zaman, dengan tetap dalam koridor aturan yang baik dan memihak kepada kepentingan bangsa.

Selanjutnya, koordinasi dengan pemangku kepentingan terkait juga diperlukan untuk reformasi kurikulum dalam bidang pendidikan untuk menjawab tantangan revolusi teknologi digitalisasi.

Berbagai upaya itu, serta sinergi yang sudah dilakukan, harus terus dipertahankan agar transaksi keuangan digital, QRIS khususnya, menjadi solusi kemudahan pembayaran di masa depan.


Baca juga: Wakil Ketua DPR Rachmat Gobel ajak UMKM gunakan QRIS
Baca juga: BI terus perluas penggunaan QRIS di pasar dan pusat perbelanjaan
Baca juga: BI akan gandeng kementerian perluas penggunaan QRIS
Baca juga: Digitalisasi pasar diharapkan tingkatkan kesejahteraan pelaku UMKM

Pewarta: Satyagraha
Editor: Subagyo
COPYRIGHT © ANTARA 2021