Jakarta (ANTARA News) - Ketua Komisi III DPR, Trimedya Pandjaitan dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) menilai usulan Komisi Yudisial (KY) yang mengusulkan seleksi ulang terhadap 49 Hakim Agung di Mahkamah Agung merupakan sebuah revolusi besar bagi dunia peradilan. "Namun seharusnya KY terlebih dahulu berkonsultasi dengan DPR, semangat untuk membersihkan korupsi boleh saja, tetapi jangan terus-terusan meminta pada Presiden untuk turun tangan," kata Trimedya di sela-sela acara Rapim PDI-P yang berlangsung di Jakarta, Sabtu. Trimedya menilai bila Presiden selalu "diseret-seret" untuk turun langsung ke penegakan hukum, nantinya akan sama dengan kasus mantan Presiden Soeharto. Ia juga menilai usulan revolusioner KY tersebut belum memiliki payung hukum, oleh karena itu yang paling penting saat ini adalah dicari payung hukumnya. Trimedya juga menyatakan pada awal masa persidangan DPR yang mulai berlangsung pada pertengahan Januari 2006, DPR akan memanggil Komisi Yudisial yang akan diminta memberikan masukan mengenai masalah yang mereka hadapi dalam menjalankan tugasnya. Sementara itu, ketika disinggung mengenai perbedaan pendapat antara KY dan MA perihal usulan seleksi ulang 49 Hakim AQgung, Trimedya menjelaskan langkah awal untuk menyelesaikan itu adalah melalui komunikasi antara KY dengan Ketua MA, Bagir Manan. "Nanti kalau ada Hakim Agung yang dipanggil, maka Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan dapat berkonsultasi dengan Dewan Kehormatan Hakim Agung. Jadi secara teknis Dewan Kehormatan itu yang memanggil hakimnya," usul Trimedya. Sebelumnya, pada Rabu (4/1) pagi ketika bertemu dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Jakarta, Komisi Yudisial (KY) mengeluarkan gagasan untuk melakukan seleksi ulang terhadap 49 Hakim Agung yang ada di Makamah Agung (MA) sebagai bagian dari upaya mereformasi dunia peradilan di Indonesia yang saat ini dianggap dalam titik nadir. Busro Muqoddas mengatakan Presiden pada intinya menyambut baik gagasan seleksi ulang tersebut, dan dalam waktu dekat akan dibentuk Peraturan Penganti UU atau Perppu yang merupakan payung hukum dari rencana tersebut. Muqoddas juga mengemukakan dalam pertemuan Presiden menyampaikan keprihatinannya dengan situasi ketidakadilan yang tercermin dalam putusan peradilan di tanah air. Ia mengharapkan ada integrasi yang baik antara KY dengan lembaga terkait dalam rangka menyusun rencana aksi yang bermuara pada terciptanya tata kelola yang baik melalui penyehatan badan peradilan. Sementara Ketua MA Bagir Manan pada Rabu (4/1) mengatakan bahwa ia memahami sepenuhnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) untuk menyeleksi ulang Hakim Agung hanya bisa dilakukan pada keadaan darurat. "Perpu itu wewenang Presiden. Saya mengerti Perpu dikeluarkan dalam keadaan darurat. Tetapi jangan tanya saya, tanya pembantu Presiden yang mengerti soal-soal kegentingan memaksa karena itu sepenuhnya kewenangan Presiden," kata Bagir. Ia mengatakan seleksi ulang terhadap 49 Hakim Agung harus ada dasar hukumnya dan harus diteliti apakah undang-undang yang ada sekarang memungkinkan seleksi ulang terhadap Hakim Agung. "Jadi kembali lagi, kalau ada usul Perpu atau sebagainya itu wewenang khusus presiden," ujarnya. Meski demikian, Mahkamah Agung (MA) akan menyerahkan sepenuhnya kepada Presiden soal usulan Komisi Yudisial (KY) agar 49 Hakim Agung yang ada di MA diseleksi ulang sebagai bagian dari reformasi peradilan. (*)

COPYRIGHT © ANTARA 2006