Bengkulu, (ANTARA News) - Aksi perambahan hutan di sekitar kawasan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Musi di Kecamatan Ujan Mas, Kabupaten Kepahiang, Bengkulu, yang kini terus berlangsung dikhawatirkan akan mengancam ketersediaan air bagi PLTA tersebut, terutama untuk menggerakkan tiga turbin yang akan menghasilkan listrik sebesar 210 Mega Watt (MW). Saat ini memang belum terasa, tapi dalam beberapa tahun mendatang dampaknya akan terasa karena sebagian hutan yang berfungsi sebagai penyangga air bagi PLTA Musi saat ini mulai gundul dan dijadikan lahan pertanian, kata Kepala Proyek PLTA Musi Ir Terry Rudiana, saat menjawab pertanyaan ANTARA di Bengkulu, Senin (9/1). Ia menjelaskan, pihaknya tidak bisa berbuat banyak terhadap aksi perambahan hutan itu karena yang punya wewenang adalah dinas kehutanan. "Kita hanya memberi masukan, penindakan ada di dinas kehutanan," ujarnya. Hutan di sekitar PLTA Musi yang berada di sejumlah kabupaten terdiri dari hutan milik masyarakat dan dan milik dinas kehutanan, keduanya mengalami kerusakan akibat aksi perambahan. Menurut dia, dampak gundulnya kawasan hutan penyangga itu, pada saat musim penghujan supali air akan berlebihan dan bahkan pendangkalan alur pun akan lebih cepat, sementara di musim kemarau dikhawatirkan akan kekurangan air, padahal air sangat dibutuhkan untuk menggerakkan tiga turbin PLTA Musi. Kawasan hutan penyangga yang luasnya sekitar 2.000 hektare, sebagian kini sudah berubah menjadi kebun kopi masyarakat, terutama di sepanjang jalur lintasan proyek yang membelah Bukit Barisan antara Kecamatan Ujan Mas, Kabupaten Kepahiang dengan Desa Susup, Kecamatan Taba Penanjung, Kabupaten Bengkulu Utara. Sementara pola penghijauan yang dilakukan pihak terkait di wilayah itu belum mampu mengatasi ancaman erosi saat musim penghujan dan kekeringan pada musim kemarau, karena lokasi proyek masih berkutat di sepanjang pinggir jalan proyek saja. Ia mencontohkan, proyek gerakan Hutan Kemasayarakatan (HKM) beberapa tahun lalu dengan menanam jutaan pohon kemiri, pinang, jengkol dan petai, tanaman yang hidup hanya 50 persen. Untuk mengatasi masalah tersebut, kata Terry, pihaknya akan melakukan kerjasama dengan Dinas Kehutanan untuk melakukan reboisasi bersama dan akan melibatkan petani sekitarnya, terutama petani yang berada dalam kawasan hutan lindung setempat. Sementara Pemkab Kepahiang dalam tahun anggaran 2005/2006 telah memprogramkan akan menghijaukan sekitar 2.000 hektare lahan kritis, terutama di daerah penyangga aliran sungai Musi dengan dana sekitar Rp8 miliar. Penghijauan lahan kritis itu diusulkan melalui program Gerakan Rehabilitasi Hutan Nasional (Gerhan), menindaklanjuti penghijauan tahun lalu seluas 400 Ha, kata Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kepahiang Ir Nandang Sumantri. Menurut dia, lahan kritis yang akan dihijaukan itu sebagian besar berada dalam kawasan hutan yang akan ditanami jenis pepohonan bernuansa ekonomi kerakyatan, seperti durian, petai, jengkol, kabau dan kemiri, sedangkan lahan di luar kawasan akan ditanami jenis kayu bawang, meranti dan jati. Lokasi penghijauan itu diprioritaskan di daerah penyangga air sungai Musi guna mengamankan kebutuhan dan ketersediaan air bagi PLTA Musi yang mempunyai kekuatan 70 X 3 MW dan menurut rencana diresmikan April atau Mei 2006.(*)

COPYRIGHT © ANTARA 2006