Jakarta (ANTARA News)- Mantan Menteri Agama Said Agil Husein Al Munawar mengaku menerima tunjangan operasional sebesar Rp10 juta per bulan dari pengelolaan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) dan Rp15 juta per bulan sebagai Ketua Badan Pengelola Dana Abadi Umat (DAU) selama menjabat sebagai Menteri Agama pada periode 2001-2004. Pada persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Senin, dengan agenda pemeriksaan dirinya sebagai terdakwa, Said mengaku tidak ingat berapa jumlah keseluruhan tunjangan yang diterimanya dari BPIH dan DAU selama menjabat sebagai Menteri Agama. Ketika ditanya oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) apakah jumlah keseluruhan yang diterimanya sebesar Rp4,5 miliar, Said masih mengaku tidak mengingat lagi jumlahnya. Ia mengatakan tunjangan operasional yang dia terima digunakan untuk berbagai kegiatan yang ada hubungannya dengan penyelenggaraan ibadah haji. Dalam persidangan tersebut Said juga berkali-kali menyatakan bahwa ia hanya menjalankan kebijakan Menteri Agama sebelumnya yaitu Tolchah Hasan yang tertuang dalam Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 340 tahun 2001 tentang hasil efisiensi biaya ibadah haji yang dimasukkan ke dalam rekening penampungan. Said mengatakan tidak ada dana hasil efisiensi BPIH pada 2003 dan 2004 karena atas usulan Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Ibadah Haji Departemen Agama Taufik Kamil, yang juga menjadi terdakwa dalam kasus ini, hasil efiseinsi itu digunakan untuk merenovasi sejumlah wisma haji karena banyaknya proposal dari daerah terkait dengan hal itu. Ia juga mengaku tidak pernah membuat KMA atas kemauannya sendiri karena proses pembuatan KMA harus melibatkan tim teknis yang menyertakan Biro Hukum Departemen Agama dan harus diketahui pula oleh Sekretaris Jenderal Depatemen Agama. Dari Sekjen, menurut dia, proses pembuatan KMA akan kembali ke Biro Hukum untuk kemudian disampaikan kepada Menteri Agama. "Biro Hukum akan menyampaikan surat kepada saya bahwa KMA sudah diteliti dan sesuai prosedur serta pada akhirnya saya tandatangani. Jadi tidak pernah ada KMA yang dibuat atas kemauan saya sendiri," ujarnya. Namun Said mengakui bahwa ada sebuah KMA tentang pembentukan rekening penampungan yang ditandatangani oleh Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Ibadah Haji Taufik Kamil. "Saya baru tahu belakangan kalau ada KMA yang berkaitan dengan keuangan yang ditandatangani oleh Dirjen," katanya. Lebih lanjut dia menjelaskan bahwa keputusan tentang pemotongan dana hasil efiseiensi BPIH sebesar 10 persen untuk biaya pengelolaan diambil setelah dikonsultasikan dengan BPK secara lisan dan akhirnya diputuskan bahwa harus ada insentif bagi pengelola BPIH yang jumlahnya sangat besar. Said mendasarkan keputusan itu pada pasal 19 Keppres Nomor 22 tahun 2001 yang menyebutkan bahwa seluruh biaya untuk pengelolaan DAU diambil dari hasil efisiensi BPIH. Ketika Ketua Majelis Hakim Cicut Sutiyarso menanyakan apakah dia merasa hanya menjalankan undang-undang atau mengatur seluruh keuangan DAU berdasarkan peraturan yang dibuatnya sendiri yang tertuang dalam KMA, Said mengatakan bahwa ia hanya menjalankan undang-undang. Namun demikian ia mengakui bahwa telah memberikan tambahan satu butir dalam kebijakan itu yakni yang menyatakan bahwa hal-hal lain yang tidak diatur dalam Keppres maka akan ditentukan oleh Menteri Agama. Said mengakui pula semua pengeluaran dana dari BPIH dan DAU termasuk yang digunakan untuk sumbangan pernikahan yang jumlahnya mencapai Rp300 juta pada 2004 dan Rp117 juta pada 2003 serta bantuan cicilan rumah untuk seorang yang bernama Abduh Paddare senilai Rp50 juta. Namun Said mengatakan bahwa semua pemberian tersebut masih sesuai dengan tujuan penggunaan DAU yakni untuk kepentingan sosial dan keagamaan.(*)

Editor: Heru Purwanto
COPYRIGHT © ANTARA 2006