Jakarta (ANTARA News) - Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) S Budi Rochadi mengingatkan adanya konsekuensi hukum apabila Menteri Keuangan ikut menandatangani uang rupiah baru yang berdasarkan draf RUU Mata Uang akan mulai beredar pada 2014 mendatang.

"Penerbitan uang itu kewajiban moneter dari Bank Indonesia, begitu tandatangan dia (Kemenkeu) kena kewajiban moneter, jadi kalau ini dilakukan harus sadar ada pengakuan utang," ujarnya dalam pertemuan dengan pers di Jakarta, Senin malam.

Ia menjelaskan keinginan Menteri Keuangan untuk membubuhkan tandatangan pada uang rupiah merupakan bentuk intervensi otoritas fiskal pada otoritas moneter serta bertentangan dengan pasal 23 UUD 1945.

"Ini bisa menimbulkan konsekuensi hukum, karena ini bukan sekedar tandatangan biasa. Begitu Menteri Keuangan menandatangani ada konsekuensi pengakuan utang dan mengakibatkan ketidakpastian di kalangan masyarakat," ujarnya.

Selain itu, Budi menambahkan biaya yang dikeluarkan akibat percetakan uang baru sangat mahal dan pemerintah harus ikut menanggung beban pembiayaan tersebut.

"Ongkosnya cukup mahal, biaya pengedaran uang keseluruhan adalah pengeluaran terbesar kedua di BI dan biaya percetakan uang kira-kira dua per tiga total biaya pengedaran uang," ujarnya.

Namun, ia tidak mempermasalahkan apabila Presiden sebagai kepala negara yang membubuhkan tandatangan tersebut, karena konsekuensi hukumnya jelas.

Dengan adanya UU tersebut, Budi mengkhawatirkan, apabila BI ingin mencetak uang baru dibutuhkan koordinasi yang berbelit-belit dengan pemerintah padahal uang tersebut dibutuhkan beredar secara cepat.

Selain itu, pemerintah dikhawatirkan dapat mencetak uang baru ketika ingin membiayai defisit fiskal, yang secara tidak langsung dapat menyebabkan laju inflasi tinggi.

"Kebijakan moneter termasuk penerbitan uang. Ini membuat kebijakan moneter tersandera, padahal dalam UU keuangan negara tertulis kekuasaan dibagi antara pemerintah dan BI, pemerintah menguasai semua keuangan kecuali moneter," ujar Budi.

Budi sangat menyayangkan BI tidak dilibatkan dalam proses penyusunan draf RUU Mata Uang, padahal menurut rencana RUU ini akan dibahas pada rapat paripurna DPR pada Rabu (25/5).

"Bank sentral sebagai otoritas moneter yang berwenang mengurusi mata uang dari percetakan hingga peredaran sama sekali tidak terlibat dalam pembahasan RUU Mata Uang ini," ujarnya.

Ia mengatakan, sebagai bank sentral yang selama ini mengetahui tentang pencetakan dan peredaran mata uang sudah seharusnya dimintakan pendapat serta substansi hingga implikasi dalam pembentukan RUU tersebut.

Apalagi, Budi melanjutkan, konsep draf yang diajukan DPR melalui Komisi XI dan Daftar Inventaris Masalah (DIM) yang disampaikan ke pemerintah berbeda jauh antara periode yang lalu dengan saat ini.

"Periode terdahulu hanya mengumpulkan pasal yang tercecer di undang-undang BI maupun undang-undang lain terkait masalah mata uang. BI hanya menambahkan poin dimana harus ada efek jera terhadap pemalsuan rupiah," katanya.

Menurut dia, apabila masyarakat dirugikan dengan kebijakan pemerintah dengan DPR ini, maka bisa saja UU ini diajukan ke Mahkamah Agung untuk dilakukan pengujian undang-undang (judicial review).

"Bisa saja BI atau masyarakat nanti mengajukan judicial review, karena ada masyarakat yang dirugikan karena tidak ada kepastian hukum," ujarnya.

Budi menyarankan agar pemerintah dan DPR segera menyelesaikan RUU yang lebih penting seperti RUU Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK), karena lebih bermanfaat sebagai protokol dalam menghadapi krisis dan tidak ada implikasi politik terkait hal itu.

"Banyak UU yang seharusnya jadi dan gampang. Itu banyak, misalnya UU yang sangat kita perlukan adalah UU JPSK, itu penting sekali, ini tidak ada politiknya. Ini hanya semata-mata teknis bagaimana mengatur kalau terjadi krisis, tidak ada politiknya JPSK itu," ujarnya.  (ANT/K004)

Editor: Kunto Wibisono
COPYRIGHT © ANTARA 2011