Jakarta (ANTARA News) - Pidato politik Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri mengritisi beberapa kebijakan pemerintah sepanjang tahun 2005. Pidato Politik tersebut disampaikannya pada acara puncak HUT PDIP ke-33 di Tugu Proklamasi, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu. Kritikan mantan Presiden RI tersebut terarah kepada beberapa sektor upaya peningkatan kesejahteraan rakyat yang menurut penilaiannya masih jauh dari harapan. Disebutkannya, tahun 2005 yang menjadi tahun harapan menjadi tahun yang penuh cobaan dengan keluarnya beberapa kebijakan pemerintah yang dinilainya kurang berpihak kepada wong cilik. Beberapa sektor yang menjadi sasaran kritik dan pertanyaan Mega sebagai Ketua PDIP adalah kenaikan harga BBM yang realisasinya di atas 100 persen, kebijakan impor beras, bertambahnya utang luar negeri, nota kesepahaman RI-GAM di Helsinki, kecepatan penanganan bencana di Tanah Air, serta beberapa kebijakan pemerintah lainnya. "PDIP mempertanyakan kenaikan BBM di atas 100 persen, kenaikan itu berdampak inflasi tinggi, menurunkan daya beli masyarakat, pengangguran bertambah," kata Megawati. Ia sepakat dengan pengurangan dan pemangkasan subsidi untuk beberapa sektor yang dianggap berlebihan, namun selama ini partainya sama sekali tidak pernah memikirkan untuk menghilangkan subsidi sama sekali. Selain itu ia juga menegaskan kembali bahwa Indonesia merupakan Negara Kesejahteraandi mana filosofi dan misi negara adalah perlindungan, pelayanan dan pemberdayaan publik untuk kesejahteraan bersama. "Kita butuh banyak korporasi atau perusahaan yang sehat agar dunia usaha berjalan baik, namun tidak bisa mempertukarkan filosofi dan misi utama antara negara dan perusahaan, hubungan negara dan rakyat jangan dilihat dari untung rugi dagang," tandas Mega. Ia mengingatkan bahwa akan selalu ada kelompok masyarakat yang tidak akan mampu berkompetisi secara setara. Sehingga akan ada ketidak adilan apabila tidak ada proteksi. Khusus untuk kebijakan import beras, PDIP menurut Megawati menolak tegas hal tersebut karena menjadi bencana bagi jutaan petani di Indonesia. Hal itu, menurutnya, sebagai bencana bagi kelangsungan ketahanan dan kedaulatan pangan dalam negeri. "Tahun 2003 pemerintah mengeluarkan Inpres Nomor 9 yang melarang impor beras, dan nyatanya tahun itu tidak kekurangan beras dan tetap surplus beras," katanya. Bahkan, pada Tahun 2004 justru mencapai swasembada beras dengan jumlah produksi sekitar 33 juta ton beras dengan konsumsi 30,4 juta ton. Alasan PDIP menolak impor beras adalah agar petani Indonesia mendapat harga produksi padi yang baik dan lebih menguntungkan sehingga bergairah meningkatkan produktifitasnya. Alasan kedua untuk kepentingan ketahanan pangan dalam negeri. Soal MoU Ri-GAM Khusus untuk nota kesehaman RI-GAM yang ditandatangani Agustus 2005 di Helsinki, sebagai Ketua Umum PDIP ia menugaskan Fraksi PDIP untuk sungguh-sungguh mencermati RUU penyelenggaraan pemerintahan di Aceh. "Jangan sempat fraksi PDIP menyetujui hal-hal strategis yang mencederai tatanan NKRI dan kedaulatan kita sebagai bangsa," katanya. Substansinya, menurut dia, bukan kalah atau menang, namun tanggung jawab ideologi dan tanggung jawab negara dan bangsa. Menurut Mega, PDIP sulit untuk menerima salah satu klausul dari salah satu nota kesepahaman tersebut yang menyaratkan keputusan RI dan DPR-RI harus mendapatkan keputusan eksekutif dan legislatif dari Aceh. "Perdamaian seperti itu hanya bisa dilakukan dalam tatanan NKRI dan kedaulatan sebagai bangsa," katanya. Menurut dia, akan sulit terjadi perdamaian yang langgeng dan kuat apabila tatanan NKRI dan kedaulatan dicederai. Pada kesempatan terakhir dari orasinya itu, Megawati juga mengritisi kebijakan pemerintah terhadap dunia penyiaran yang dianggapnya bertolak belakang dengan roh penyiaran itu sendiri. "Upaya untuk mengontrol pers melalui perizinan dan bentuk lainnya jelas suatu kemunduran demokrasi itu sendiri," tandasnya. (*)

COPYRIGHT © ANTARA 2006