Sydney (ANTARA News) - Australia menandai dimulainya pakta enam negara pencemar terbesar di dunia dengan memberi komitmen bantuan sebesar 100 juta dolar Australia (75 juta dolar AS) sebagai dana awal pengembangan energi bersih untuk memerangi pemanasan global. Pertemuan Kemitraan Asia-Pasifik mengenai Iklim dan Pembangunan Bersih yang mulai berlangsung di Sydney, Kamis, bertujuan untuk mengurangi buangan gas rumah kaca dengan dukungan industri dan tanpa menghambat pertumbuhan ekonomi. Namun, mereka tidak menetapkan sasaran bagi anggotanya mengenai pengurangan volume buangan karbon dioksida dan gas lain yang dihasilkan oleh bahan bakar fosil. Para pengeritik mengatakan bahwa kemitraan tersebut berwawasan pendek dan akan menuju kegagalan karena tidak ada sasaran bagi anggota-anggotanya, yaitu Amerika Serikat, Australia, Jepang, Cina, Korea Selatan dan India. Perdana Menteri Australia, John Howard pada sambutannya menekankan pentingnya mempertahankan pertumbuhan ekonomi, menghapuskan kemiskinan dan menurunkan emisi gas rumah kaca. "Kita mempunyai tanggungjawab terhadap generasi kini maupun mendatang untuk mempertahankan kemampuan pertumbuhan ekonomi tersebut," kata Howard, seperti dilaporkan Reuters, kepada anggota kemitraan tersebut di Government House di Sydney. "Tanpa kemitraan aktif dengan masyarakat bisnis, kita tidak akan dapat mencapai tujuan-tujuan kita,"tambahnya. Keenam negara itu, yang memiliki penduduk hampir setengah jumlah penduduk dunia, bertanggungjawab terhadap produksi sekitar setengah dari jumlah total gas rumah kaca yang terkumpul di atmosfir. Volume gas rumah kaca tersebut diperkirakan akan meningkat tajam seiring dengan pertumbuhan ekonomi di Cina dan India --yang banyak menggunakan batu bara, minyak dan gas. Howard mengatakan bahwa laporan ekonomi dan energi yang akan dikeluarkan oleh Biro Pertanian dan Sumber Daya Ekonomi Australia (ABARE) memperlihatkan bahwa teknologi pembangunan yang bersih bisa mengurangi buangan gas rumah kaca dari keenam negara tersebut sebesar 20 persen pada tahun 2050. Namun laporan Badan Antar-Pemerintah mengenai Perubahan Iklim di PBB mengatakan pada tahun 1990 bahwa emisi harus dikurangi antara 60 hingga 80 persen bila ingin mempertahankan konsentrasi karbon dioksida. Sebuah laporan di Inggris pada tahun 2000 mengatakan bahwa negara maju seperti Inggeris perlu mengurangi emisi karbon hingga 60 persen dari tingkat volume karbon di tahun 1990 pada tahun 2050. Sejumlah ilmuwan menegaskan bahwa pemanasan global telah mencairkan gunung es, meningkatkan permukaan air laut dan menyebabkan makin seringnya terjadi badai, kamarau dan banjir. Tingkat volume karbon dioksida dan methane di atmosfir kini lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya dalam 650.000 tahun terakhir, menurut penelitian di pusat es Antartika. Beberapa proyek yang akan didanai oleh kemitraan tersebut akan diusulkan oleh delapan kelompok kerja berdasarkan sektor industri, yaitu pertambangan, energi yang terbarukan, alumunium, semen, energi, listrik, efisiensi bangunan serta peralatan, dan transportasi. Australia dan Amerika Serikat pada hari Rabu (11/1) bertemu dengan para wakil perusahaan global seperti Exxon Mobil, BHP Billiton dan Rio Tinto, untuk mendapatkan dukungan dalam memerangi perubahan iklim. Pertemuan pura-pura Walau keenam negara itu mengatakan bahwa kemitraannya bertujuan untuk melengkapi Protocol Kyoto --bukan menyainginya, namun kelompok LSM lingkungan hidup menggambarkan pertemuan di Sydney sebagai sekedar kepura-puraan yang sebenarnya bertujuan mengacaukan Protocol Kyoto. Protocol Kyoto mengenai perubahan iklim mewajibkan sekitar 40 negara maju untuk mengurangi emisi mereka hingga 5,2 persen di bawah tingkat volume emisi pada tahun 1990 selama periode 2008  20012. Amerika Serikat dan Australia menolak untuk menandatangani perjanjian Protocol Kyoto dengan alasan keharusan mengurangi gas rumah kaca akan mengancam pertumbuhan ekonomi. "Dengan menetapkan target itu, Kyoto telah mendorong investasi di bidang teknologi bersih dan menurunkan pencemaran gas rumah kaca," ujar jurubicara Greenpeace Cahterine Fitzpatrick. Tapi keenam negara tersebut percaya bahwa target berdasarkan kesukarelaan industri dapat mempercepat pengembangan teknologi bersih yang lebih efisien guna mengurangi pencemaran, sementara masih tetap dapat mendorong pertumbuhan ekomomi, mengurangi kemiskinan dan menjamin tersedianya energi. "Kita telah belajar dari pengalaman bahwa target yang ditetapkan secara sewenang-wenang tidak akan menghasilkan solusi praktis bagi perubahan iklim global," kata Howard. (*)

COPYRIGHT © ANTARA 2006