Kupang (ANTARA News) - Penembakan tiga warga sipil asal Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT) di sungai Malibaca, perbatasan RI-Timor Timur, Jumat (6/1) pekan lalu, sudah direncanakan secara matang, kata Komandan Korem 161/Wirasakti, Kol. Inf. APJ Noch Bola, di Kupang, Kamis. Kepada ANTARA News, Danrem 161 mengatakan, Unit Patroli Perbatasan (BPU) Kepolisian Nasional Timor Timur sepertinya sudah mendesain sebuah skenario besar untuk menciptakan instabilitas keamanan di daerah perbatasan Indonesia dengan Timor Timur itu. "Hasil olah TKP (tempat kejadian perkara) dapat terbaca jelas bahwa ketiga orang yang ditembak mati, Stanislaus Maubere, Candido Mariano dan Jose Mauserto, sudah direncanakan matang dari sebuah skenario besar, karena masuk dalam daftar kejahatan serius (serious crime) versi Timtim," kata Danrem Bola. Dia membantah keras tuduhan Perdana Menteri (PM) Timtim, Mari`e Alkatiri, yang menyebut bahwa aksi penembakan itu terjadi sebagai akibat dari aksi penyerangan terhadap BPU oleh ketiga orang tersebut. Apa yang dikatakan oleh Alkatiri, menurut dia, hanya untuk mencari alasan pembenaran. Hasil olah TKP menunjukkan bahwa pelaku penembakan berada di daerah ketinggian ketika ketiga orang itu sedang mencari ikan di Sungai Malibaca, padahal kawasan itu termasuk zona netral yang tidak bisa dilarang oleh Indonesia maupun Timtim, apalagi melakukan penembakan mematikan. "Kita punya saksi hidup dua orang yang bersama-sama dengan tiga orang korban pada saat itu. Kedua orang ini lolos dari aksi penembakan ketika mereka berlari menuju pos TNI di Turiskain," katanya. Ia menimpali, "Mereka melihat dengan jelas bahwa BPU melepas tembakan dari daerah perbukitan ke arah mereka pada saat itu." Karena itu, tegas Bola, apa yang dikemukakan Alkatiri mengenai insiden penembakan terhadap tiga orang warga sipil eks pengungsi Timtim tersebut hanya untuk mencari alasan pembenaran semata, karena tanpa didukung oleh suatu bukti yang jelas. "Ketiga orang yang tewas tertembak itu hanya membawa pukat dan sebilah parang untuk menangkap ikan di sungai Malibaca. Mana mungkin ada kontak senjata pada saat itu dan dilakukan aksi penyerangan terhadap BPU, seperti yang dituduhkan PM Alkitiri? Ini sebuah pernyataan yang ngawur," katanya. Bola menambahkan, insiden penembakan terhadap tiga warga sipil asal Kabupaten Belu itu lahir dari sebuah skenario besar yang dimainkan Menteri Luar Negeri Timtim, Jose Ramos Horta, dan PM Alktiri untuk mempertahankan eksistensi petugas PBB (UNMISET) yang akan berakhir pada Mei 2006. "Mereka ingin menunjukkan kepada PBB bahwa situasi keamanan di perbatasan belum kondusif, sehingga misi PBB di Timtim masih sangat diperlukan, apalagi menyebut eks pengungsi Timtim sebagai milisi pro-Indonesia," katanya. "Saya mau tegaskan di sini bahwa tidak ada lagi milisi pro-Indonesia di Timor bagian Barat NTT, seperti yang dituduh Ramos Horta dan Alktiri. Yang ada hanya penduduk sipil yang kebetulan adalah eks milisi, karena organisasi sipil bersenjata ini sudah lama dibubarkan," tambahnya. Sebagai Komandan Korem, kata Kolonel Bola, ia berkewajiban untuk mencegah wilayah Timor bagian Barat dijadikan milisi sebagai basis perlawanan Timtim, seperti yang dituduhkan oleh elit politik Fretilin dari negeri seberang Timtim. "Itu hanya akal-akalan Ramos Horta dan Alkatiri untuk mempertahankan eksistensi UNMISET di Timtim yang akan berakhir pada 20 Mei 2006 dengan menyebut masih adanya milisi di Timor bagian Barat," katanya. Ramos Horta dan Alkatiri, tambahnya, harus memainkan skenario tersebut, karena posisi mereka juga terancam jika Presiden Xanana terpilih menjadi Ketua Partai Revolusi Kemerdekaan Timtim alias Fretilin (Frente Revolucionario Timor Leste Independente). "Ini sebuah ancaman besar bagi kelompok Ramos dan Alkatiri, sehingga mereka terus menciptakan instabilitas keamanan di perbatasan kedua negara untuk mempertahankan eksistensi UNMISET dengan menyebut masih banyaknya milisi Timtim pro-Indonesia di Timor bagian Barat," demikian Bola.(*)

Editor: Suryanto
COPYRIGHT © ANTARA 2006