Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah Indonesia mengharapkan Jepang memberikan suku bunga lama atau sebesar 1,3 persen untuk pinjaman yang akan diberikan. "Harapan kita Jepang memberikan suku bunga yang lama," kata Menko Perekonomian Boediono di gedung Depkeu, Jakarta, Jumat. Ia mengatakan, pihaknya akan memasukkan pembahasan mengenai suku bunga pinjaman Jepang itu dalam agenda pertemuan dengan pihak Jepang. "Kita akan masukkan dalam agenda nanti. Kita ingin yang terbaik bagi kita," katanya. Menanggapi kesiapan Jepang menyediakan pinjaman sebesar satu miliar dolar AS, Menko menyebutkan, hal itu masih dalam proses. "Itu masih dalam proses. Mudah-mudahan bisa selesai sebelum pertemuan Consultative Group on Indonesia (CGI)," katanya. Sebelumnya Menkeu Sri Mulyani mengatakan, pinjaman satu miliar dolar AS dari Jepang itu ditujukan untuk pembiayaan proyek-proyek infrastruktur. Diterima atau tidaknya pinjaman itu akan sangat tergantung dari kesiapan departemen teknis untuk menggunakan tawaran pinjaman itu. Sementara itu Kepala Badan Pengkajian Ekonomi, Keuangan dan Kerjasama Internasional (Bapekki) Depkeu Anggito Abimanyu mengatakan, terhadap tawaran pinjaman satu miliar dolar AS itu sebenarnya ada yang sudah on going (sudah berjalan) dan ada yang baru akan berjalan. "Yang sudah on going tidak ada masalah, sementara yang baru harus betul-betul dievaluasi kelayakannya," katanya. Mengenai kenaikan suku bunga pinjaman Jepang dari 1,3 persen menjadi 1,5 persen, Anggito juga mengatakan, bahwa pemerintah akan melihat apakah tingkat bunga itu bisa ditawar. "Kita akan cari pembiayaan yang paling murah sesuai dengan kemampuan kita, dan itu akan kita tarik kalau butuh saja. Kalau tidak dibutuhkan ya tidak ditarik," katanya. Ketika ditanya apakah tingkat bunga 1,5 persen kompetitif, Anggito mengatakan, dilihat dari sisi tingkat bunga International Development Agency (IDA) maka tingkat bunga itu lebih tinggi. Menurut dia, pihak Ditjen Perbendaharaan Depkeu harus melakukan negosiasi agar diperoleh tingkat bunga yang lebih murah. "Teman di Perbendaharaan harus menegosiasi, kalau bisa lebih murah, kalau di saya hanya menilai proyek itu layak atau tidak," katanya. Sementara itu mengenai penilaian Bank Dunia bahwa Indonesia layak mendapat pinjaman high case scenario, Anggito mengatakan, diterima atau tidaknya pinjaman itu akan tergantung dari kebutuhan pembiayaan di APBN. Ia menyebutkan, Indonesia layak mendapatkan high case scenario antara lain karena Indonesia telah melakukan tiga kali Development Policy Letter (DPL). "DPL pertama dilakukan pada saat Menteri Keuangan Boediono, DPL kedua masa Menteri Keuangan Jusuf Anwar, dan DPL ketiga saat ini sedang berjalan," katanya.(*)

Editor: Bambang
COPYRIGHT © ANTARA 2006