Pati (ANTARA News) - Sejumlah korban kekerasan dan sodomi oleh pendiri SMK Telkom Terpadu AKN Marzuki di Dukuh Selempung, Desa Dukuh Seti, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, menuntut proses hukum yang seadil-adilnya dan pemberian hukuman yang setimpal terhadap pelaku.

Ungkapan tersebut terungkap dalam pertemuan antara anak-anak mantan siswa SMP Terpadu/SMK Telkom AKN Marzuki yang menjadi korban tindak kekerasan dengan Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) di Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Advokasi Nasional, di Pati, Senin.

Sebut saja Sy (nama samaran), salah satu korban kekerasan dan pelecehan dari pendiri SMK Telkom itu berharap Komnas PA yang hadir pada kesempatan tersebut memperjuangkan hak-haknya mendapatkan keadilan.

Ia juga meminta, kepada Komnas PA mendorong aparat penegak hukum segera memproses tindak kekerasan dan sodomi yang dilakukan oleh pendiri SMK Telkom Terpadu tersebut.

Berdasarkan pengakuannya, anak yang saat ini masih melanjutkan sekolah dua di salah satu SMK di Pati itu mendapatkan perlakuan kekerasan dari sang kiai ketika masih duduk di kelas 1 SMK Telkom Terpadu.

Bahkan, kekerasan yang diterima justru terjadi dilakukan sang kiai di masjid komplek sekolah.

Setelah mendapatkan pukulan bertubi-tubi hingga tersungkur jatuh, dia masih menerima perlakuan tak senonoh. "Saya ditelanjangi dan diarak di depan kelas, karena tidak mau mengaku tuduhan melakukan sodomi terhadap temannya, mengingat memang tidak pernah melakukan," ujarnya.

Khawatir menerima pukulan kembali, dia akhirnya menyerah dan bersedia mengakui tuduhan dari sang kiai tersebut.

Perasaan malu dan sakit fisik dan hatinya itu diungkapkan dengan kabur dari sekolah. "Awalnya orang tua tidak mengetahuinya," ujarnya pasrah.

Nasib lebih tragis dialami Nanda (samaran), terpaksa bersedia disodomi sebanyak dua kali oleh orang yang sama yang melakukan kekerasan terhadap temannya Sy.

"Saya tidak berani menolak karena diancam tuduhan sodomi terhadap temannya akan disebarluaskan," ujarnya.

Harapan yang sama juga diungkapkan siswa yang saat ini masih dapat meneruskan sekolah di salah satu SMK di Pati dan duduk di kelas dua meminta, keadilan atas tindakan tidak terpuji yang dilakukan oleh pendiri SMK Telkom Terpadu AKN Marzuki.

"Jika tidak ada keadilan dan proses hukum yang jelas, kami khawatir teman-teman saya yang masih sekolah di SMK Telkom tersebut juga mengalami nasib serupa," ujarnya.

Kekerasan fisik juga dialami Tn korban lainnya, mengaku mengalami kekerasan fisik ketika sedang sekolah praktek di STO Telkom Gambir, Jakarta.

"Saya dipukuli di Hotel Kartika Chandra Jakarta dan sempat pingsan, ketika sedang menjalani sekolah praktek," katanya.

Alasannya, dia dituduh telah mabuk-mabukan dan pengguna narkoba.

Untuk itu, dia terpaksa dipulangkan dari sekolah praktek di Jakarta.

Ketika sampai di SMK Telkom, dia terkejut, ternyata surat yang diminta sang kiai untuk diserahkan kepada kepala sekolahnya tertulis bahwa dia dikeluarkan dari sekolah praktek karena membahayakan Telkom Jakarta Pusat.

Penderitaan dia alami belum juga usai, mengingat dia dipermalukan dihadapan kedua orang tuanya yang datang ke sekolahnya.

Padahal, kata dia, tuduhan mengkonsumsi narkoba dan surat kesehatan yang didapat nihil dari konsumsi zat terlarang tersebut.

Ia mengaku sangat depresi, karena harus mengulang dari kelas dua lagi, setelah upayanya pindah sekolah diwajibkan mengulang dari kelas dua bukan melanjutkan ke kelas tiga.

Padahal, biaya yang dikeluarkan orang tuanya per bulan untuk membayar SPP sebanyak Rp150 ribu dan biaya pondok sebesar Rp200 ribu per bulan.

Menanggapi pengakuan sejumlah korban, Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (KPA), Seto Mulyadi, mengungkapkan pihaknya akan segera bertemu bapak Kapolri untuk menyampaikan permasalahan tersebut dan mendesak agar segera diproses sesuai prosedur hukum yang berlaku.

"Tidak ada seseorang yang kebal dengan hukum. Bahkan seorang presiden pun akan diperlakukan sama di hadapan hukum," ujarnya.

Soostien Ilyas anggota Komnas PA yang mendampingi Seto atau Kak Seto mengaku, jijik mendengar kelakuan sang kiai terhadap pada korbannya.

Soostien yang juga mendirikan Yayasan Nanda Dian Nusantara mengira, kasus sodomi terhadap muridnya hanya terjadi di Pontianak, tetapi terjadi pula di Pati.

Ia juga bangga dengan pernyataan sejumlah korban yang menginginkan keadilan bukan untuk diri pribadi melainkan untuk semua korban yang lain dan siswa yang masih bertahan di sekolah bermasalah tersebut.

Sementara itu, Koordinator Tim Reaksi Cepat Depsos RI, Nahar mengungkapkan, pengakuan para korban ini akan ditindaklanjuti ke tingkat pengungkapan kasus lebih lanjut.

Selama berada di Pati, pihaknya juga mengumpulkan sejumlah bukti dan data terkait kasus kekerasan dan sodomi tersebut.

Sejumlah mantan guru SMP/SMK Telkom Terpadu AKN Marzuki yang dipecat bersamaan dengan keluarnya para murid pada bulan Agustus 2008 lalu yang hadir pada acara tersebut juga mengaku mendapatan perlakuan yang tidak adil.

"Kami memang tidak mendapatan perlakuan kekerasan, hanya mendapatan fitnah untuk alasan memecat," ujar mantan guru SMP Terpadu.(*)

Editor: Kunto Wibisono
COPYRIGHT © ANTARA 2009