Jakarta (ANTARA News) - Dewan Pers menerima 391 pucuk surat pengaduan dari masyarakat berkaitan dengan pemberitaan yang dilansir surat kabar dan media elektronik sepanjang tahun 2003 hingga awal 2006. "Dewan Pers memberikan pertimbangan dan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan itu," kata Wakil Ketua Dewan Pers, RH Siregar di sela-sela Lokakarya `Merevisi KEWI, Menyusun Standar Organisasi Kewartawanan dan Merumuskan Penguatan Peran Dewan Pers` di Jakarta, Selasa. Rinciannya sebanyak 133 pucuk surat pengaduan (langsung), 220 surat pengaduan tembusan serta 38 surat pegaduan lanjutan (untuk kasus yang sama). Pada tahun 2003 sebanyak 101 surat pengaduan masuk ke Dewan Pers. Disusul tahun 2004 sebanyak sebanyak 153 buah serta tahun 2005 lalu sebanyak 127 pengaduan. Sedangkan pada tahun 2006 ini belum ada surat pengaduan yang masuk. Sebagian besar kasus pengaduan masyarakat itu karena mereka merasa dirugikan akibat pemberitaan yang dilansir oleh media massa baik menyangkut personal, instansi maupun lembaga pemerintah. Hampir semua pengaduan tersebut bisa diselesaikan secara musyawarah dan sebagian lagi atas mediasi dari Dewan Pers. Sementara itu hasil inventarisasi Komisi I Dewan Pers atas fakta dalam sejumlah pengaduan ke Dewan Pers berkesimpulan, idealnya wartawan mampu menyajikan fakta sedekat mungkin dan seakurat mungkin. Melaporkan informasi secara mendalam, analisis dan jika perlu interpretatif. Kasus pengaduan yang masuk sebagian besar adalah berita kriminal. Sejumlah pemberitaan berpotensi melanggar UU Pers N0.40/ 1999 pasal 5 ayat (1) dan Pasal 18 ayat (2). Isinya pemberitaan tersebut berkandung pencemaran nama baik (tidak menghormati asas praduga tak bersalah), oleh karena itu dapat diancam pidana dan pidana paling banyak Rp500 juta. Acuan Dewan Pers untuk menyikapi pengaduan tersebut adalah UU Pers No.40/ 1999 dan Kode Etik Wartawan Indonesia. Dewan Pers juga memperjuangkan dekriminalisasi pers. "Naluri kewartawanan harus serba cepat tapi sekaligus cermat, jadi tidak hanya cepat tapi tidak cermat atau akurat," kata RH Siregar. Sementara itu salah seorang anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Ade Armando mengatakan akreditasi wartawan sangat diperlukan untuk meningkatkan penegakkan Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) dan penguatan Dewan Pers itu sendiri. "Meski terkesan elitis, namun hal itu merupakan langkah tepat yang harus dilakukan," kata Ade Armando yang berbicara dalam kapasitasnya sebagai pengamat media massa. Sementara itu dalam lokakarya I para insan pers yang mengambil tema "Membangun Kebebasan Pers yang Beretika" tersebut mengemuka prioritas kerja Dewan Pers yakni merampungkan standar kompetensi wartawan serta melakukan melakukan standardisasi organisasi wartawan. Menurut pengakuan RH Siregar saat ini tidak ada data dan jumlah organisasi kewartawanan yang jelas.(*)

Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2006