Jakarta (ANTARA News) - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengimbau pemerintah memperhatikan protes yang disuarakan warga korban Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) melalui aksi jahit mulut dan mogok makan. "Ini bentuk protes yang lantang sekali. PBNU meminta pemerintah merespon aspirasi ini dan tidak mendiamkannya terus menerus," kata Ketua PBNU Andi Djamaro Dulung saat bersama sejumlah fungsionaris PBNU dan GP Ansor menjenguk pelaku aksi jahit mulut di halaman bekas kantor PDI di Jalan Diponegoro 58 Jakarta Pusat, Rabu. "Pemerintah semestinya datang ke sini, berdialog dan mendengarkan aspirasi mereka. Jika komunikasi ini tidak dilakukan maka bukan tidak mungkin akan muncul dampak yang lebih besar, terlebih jika simpati dari masyarakat luas terus mengalir," tambah Andi. Saat ini tercatat lima pelaku aksi jahit mulut, yakni Romli (39), Tarman (54), Jajang (34), Manisa (50) dan Saodah (32). Manisa, ibu tujuh anak dengan enam cucu, dan Saodah, ibu empat anak, bergabung dalam aksi tersebut, Selasa (17/1), sebagai bentuk solidaritas karena sejak 20 hari aksi itu dilakukan belum ada tanggapan pemerintah maupun PLN. Ketua Presidium Ikatan Keluarga Korban Sutet (IKKS) Bogor M Syafruddin meminta PBNU agar membantu perjuangan mereka dalam menuntut kompensasi dari pemerintah. "Kami memohon bapak-bapak dari PBNU membantu perjuangan kami. Hingga saat ini belum satu pun pejabat pemerintah yang datang kemari mendengarkan tuntutan kami," katanya. Menanggapi permintaan itu, Andi menyatakan PBNU akan berusaha membantu dengan menyampaikan aspirasi mereka pada pengambil kebijakan. Sebagai organisasi kemasyarakatan, katanya, PBNU tidak dapat menekan pemerintah namun bisa mendorong pemerintah agar lebih peduli pada masyarakat bawah. "Kami sangat mengapresiasi upaya pemerintah dalam menyejahterakan rakyat melalui pembangunan. Namun PBNU juga meminta pemerintah memperhatikan mereka yang terkena dampak pembangunan tersebut dengan memenuhi hak mereka," katanya.(*)

Editor: Heru Purwanto
COPYRIGHT © ANTARA 2006