Jakarta (ANTARA News) - Anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat Muhammad Hatta memberikan peringatan kepada kepala Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan jika mengizinkan akusisi Indosiar oleh PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (EMTK).

"Pasti kita akan tegur dan peringatkan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK( soal akuisisi ini dalam rapat kerja dengan DPR nanti," kata anggota Komisi XI DPR, Muhammad Hatta kepada wartawan di Jakarta, kemarin.

PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (EMTK) saat ini juga memiliki stasiun televisi SCTV.

Menurut Hatta, UU Pasar Modal yang digunakan Bapepam-LK banyak kelemahannya. Karena itu, DPR dalam masa sidang mendatang akan melakukan revisi UU tersebut.

Muhammad Hatta menegaskan DPR tetap bersikap tidak mengijinkan rencana akusisi tersebut.

Selain akan menegur dan memberikan peringatan, kata Muhammad Hatta, ia akan meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengawasi proses akuisisi tersebut, karena diduga telah terjadi penyuapan terhadap pejabat negara.

Lebih lanjut Muhammad Hatta mengatakan terkait dengan persoalan tersebut DPR berencana akan melakukan revisi terhadap dua UU terkait yakni UU Perbankan dan UU Pasar Modal.

"Ada dua UU yang akan direvisi, yakni UU Perbankan dan UU Pasar Modal. UU Pasar modal ini harus direvisi, karena tak sesuai dengan perkembangan zaman, termasuk menjangkau industri penyiaran dan telekomunikasi," katanya.

Yang jelas, kata Hatta, Komisi XI DPR menilai kasus akuisisi Indosiar ini lebih terkait kepada industri telekomunikasi dan informatika. Sehingga, tambahnya lebih tepat menggunakan UU Penyiaran ketimbang UU Bapapem.

"UU Penyiaran bukan saja `lex specialis`, tetapi juga mengatur industri penyiaran. Kalau UU Bapepam-LK kan hanya mengatur sebatas sharing stakeholder kepemilikan. Justru menggunakan UU Penyiaran itu, agar tak terjadi `join operation`. Ini yang dikhawatirkan," katanya.

Terkait akuisisi ini, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) telah mengeluarkan opini hukum yang isinya akuisisi itu melanggar UU No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dan PP No 50 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Lembaga Penyiaran Swasta yang ditandatangani sendiri oleh Presiden SBY.

Akuisisi yang dipaksakan oleh pemerintah ini juga telah mengkhianati roh UU Penyiaran yang sangat demokratis, dengan memberi ruang kepada keragaman kepemilikan (diversity of ownership) dan keragaman konten (diversity of content).

Sementara pakar hukum tata negara Irman Putra Sidin mengatakan, UU Penyiaran secara mikro telah memberi ruang kepada keragaman kepemilikan (diversity of ownership) dan keragaman konten (diversity of content). Itu artinya, UU Pasar Modal harus mengacu kepada UU Penyiaran yang mengatur industri penyiaran di Tanah Air.

Dalam UU Penyiaran telah mengatur kewenangan KPI dan pemerintah dalam hal perizinan penyiaran. Pemerintah berwenang dalam penentuan alokasi frekuensi, sedangkan KPI berwenang dalam izin penyelenggaraan penyiaran.

Pasal 33 (4) UU Penyiaran menyebutkan bahwa izin penyelenggaraan penyiaran diberikan setelah memperoleh: a) masukan dan hasil evaluasi dengar pendapat antara pemohon izin dan KPI, b) rekomendasi kelayakan penyelenggaraan penyiaran dari KPI, c) hasil kesepakatan dalam forum rapat bersama antara pemerintah dan KPI, d) izin alokasi dan penggunaan spektrum frekuensi radio oleh pemerintah atas usul KPI.

Selanjutnya, Pasal 33 Ayat 5 menyebutkan bahwa izin penyelenggaraan penyiaran diberikan oleh negara melalui KPI.

"Dilihat dari ketentuan Pasal 33 Ayat (4) dan (5) tersebut menunjukkan, dalam proses perizinan penyiaran, KPI memiliki peran yang sangat penting," katanya.

Sementara itu, pengamat politik dari Universitas Indonesia Boni Hargens menegaskan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perlu mengawasi proses akuisisi yang tidak wajar yang dilakukan PT EMTK.

Sebelumnya, anggota Komisi I DPR Effendy Choirie mengatakan, sikap Bapepam-LK yang berubah-ubah bisa diduga lembaga itu sudah masuk angin.

"Sikap yang tidak tegas, tidak konsisten dengan UU, dan belakangan cenderung berubah-ubah, diduga sudah masuk angin. Biasanya, kebijakan sebuah lembaga kalau sudah masuk angin itu seperti itu, selalu tidak jelas. Maka patut diduga KPI juga demikian," katanya.
(T.J004/S025)

Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2011