Pontianak, (ANTARA News) - Keterlibatan aparat kehutanan mempunyai andil yang cukup besar dalam praktek "Ilegal Logging" yang terjadi di Kalimantan Barat. "Keterlibatan aparat tidak bisa dipungkiri dalam maraknya praktek `illegal logging` (IL) baik instansi pemerintah, aparat penegak hukum, termasuk aparat kehutanan itu sendiri," kata Kepala Bidang Perlindungan Hutan, Dinas Kehutanan Kalbar, Ir. Soenarno, di Pontianak, Selasa (24/1). Pernyatan tersebut disampaikan Soenarno saat memberikan materi dalam Pelatihan Investigasi Illegal Logging bagi para jurnalis di Pontianak. Menurut ia, upaya yang dilakukan aparat kehutanan sudah banyak, seperti menegur pihak negara Malaysia dan membuat nota kesepakatan untuk memberantas praktek IL, yang banyak para cukongnya berasal dari negara tersebut. Tetapi negara tetangga itu terkenal lihai dan licik, setiap diundang untuk membahas permasalahan itu, mereka selalu tidak pernah mau datang. Dalam setiap pertemuan yang diadakan, masih terjadi banyak perbedaan pemahaman, khususnya masalah-masalah di daerah perbatasan. Selalu ada dalih (penyanggahan) perdagangan yang terjadi di sekitar perbatasan hanya perdagangan tradisional dan dalam pertemuan pembahasan masalah IL masih belum ada titik temunya, katanya. Ia menjelaskan, untuk memberantas praktek IL, semua pihak harus ada komitmen yang kuat dan tanpa pandang bulu siapa saja yang bersalah harus diproses sesuai dengan hukum yang berlaku di wilayah Republik Indonesia. Banyaknya jalan darat di sepanjang perbatasan Kalbar-Sarawak yang terbuka, baik yang resmi maupun tidak resmi, dan jalan tikus membuat daerah Kalbar sangat rentan dengan praktek IL. Ditunjang lagi dengan banyaknya sungai yang berjumlah 11 sungai besar, dan 130 sungai kecil sebagai alat transportasi yang sangat mudah untuk mengeluarkan kayu dari Kalbar, ke Malaysia. Ia menambahkan, banyaknya kawasan hutan eks hak pengusahaan hutan (HPH) yang "tidak bertuan" menjadi akses terbuka dalam maraknya IL. Kondisi sosial masyarakat juga sangat mempengaruhi dalam maraknya IL, seperti lapangan kerja di sektor non kehutanan belum banyak terbuka. Selain itu, masyarakat takut didahului orang lain dan takut sebagai penonton lagi dan ingin segera mengakhiri kemiskinan juga sebagai pemicu, jelasnya. Sementara itu, Ketua Lembaga Pengkajian Hukum Kehutanan dan Lingkungan Jakarta, Budi Riyanto, mengatakan, perlu ada badan khusus di peradilan umum yang nantinya di jalankan oleh hakim-hakim ad hoc. Hakim itu dibantu oleh lembaga peradilan dan para profesional di bidang hukum kehutanan. Sehingga pemahaman substansi mengenai hutan dan kehutanan dan perbuatan melawan hukum hutan dipahami oleh penegak hukum. "Supaya kita tidak kalah lagi apabila melawan pihak-pihak yang telah melakukan IL," imbuhnya. Ia menambahkan, selama ini koordinasi dan pemahaman terhadap perbuatan melawan hukum itu sendiri masih sangat kurang. Sehingga perlu ada kesepahaman dan pelaksanaan yang tegas mengenai perbuatan yang melawan hukum itu sendiri. Oleh karena itu, solusi dalam waktu dekat ini adalah dua hal yang sangat efektif. Yakni bebas dari intervensi dan adanya semacam "kamar" di dalam peradilan umum dengan tenaga hakim ad hoc, jelasnya. Sekarang ini, menurut ia, mesti ada inisiatif dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk mengusulkan Undang-undang IL tanpa harus menyentuh UU No. 41 tahun 1999.(*)

COPYRIGHT © ANTARA 2006