Jakarta (ANTARA News) - Sejumlah permasalahan yang melingkupi Jakarta seperti masalah transportasi, kependudukan, sosial ekonomi dan lingkungan membuat sejumlah pihak menyatakan keprihatinannya dan menyatakan Jakarta tidak lagi memadai sebagai ibukota. "Dengan segala kondisi yang ada kini Jakarta tidak lagi nyaman dan memenuhi syarat sebagai ibukota, sebaiknya mulai dikaji wilayah lain yang dapat menjadi ibukota," kata peneliti ahli dari Pusat Studi Kebijakan Publik (PSKP) Jimmy Siahaan dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa sejumlah keluhan masyarakat mengenai kondisi kota dan juga kebijakan pemerintah daerah yang dinilai tidak memihak rakyat membuat pihaknya meminta sejumlah pihak yang berkompeten melakukan pengkajian ulang semua bidang di DKI Jakarta seperti tata kota, transportasi dan juga kependudukan. "Pada akhirnya yang akan terjadi adalah Jakarta sudah tidak akan menjadi kota, ibukota yang nyaman, dan akan kehilangan identitas serta citra sebagai sebuah kota, sebuah ibukota, dan akan ditinggalkan oleh warganya," katanya. Dari riset yang dilakukan oleh PSKP terhadap 952 warga Jakarta tentang pandangan mereka atas sejumlah sektor seperti penanganan pedagang kaki lima, sistem birokrasi dalam kesehatan di RSUD, penanganan masalah narkoba, judi dan prostitusi, pencegahan dan penanganan banjir dan transportasi sebagian besar menyatakan ketidakpuasannya. Atas hasil tersebut, maka PSKP mengajukan sejumlah rekomendasi yaitu mengimbau adanya perbaikan dan kajian ulang kebijakan sistem tata kota DKI Jakarta, memperbaiki struktur manajemen internal dalam tubuh Pemda DKI Jakarta dan peningkatan kepedulian masyarakat untuk menjaga kelestarian lingkungan kota. "Sehingga kondisi Jakarta dapat lebih baik dibandingkan dengan yang terjadi saat ini. Seperti pelaksanaan busway, saya pikir itu kompensasi dari ketidakmampuan Pemda menata tata ruang Jakarta," kata Jimmy. Meski demikian baik Jimmy maupun PSKP belum menentukan langkah selanjutnya terkait dengan rekomendasi yang diajukan.(*)

Editor: Heru Purwanto
COPYRIGHT © ANTARA 2006