Jakarta (ANTARA News) - Seorang Taufik Ismail terkenal mampu melantunkan syair puisinya di mana pun. Namun, ia akhir pekan ini memiliki pengalaman baru, yakni berpuisi di ketinggian lantai 10 Wisma Dharmala, Jakarta. "Ini panggung paling tinggi yang saya pijak. Biasanya, saya melakukanya di panggung di tanah atau aula. Kali ini, saya mendapat panggung setinggi sepuluh lantai," kata Taufik Ismail dalam acara baca puisi bertajuk "Jangan-Jangan Kita Juga Maling", di hadapan ratusan aktivis Hizbut Tahrir Indonesia. Ia pun mengibaratkan kehadirannya di panggung tinggi tersebut menjadi sebuah arti pencapaian yang harus diraih dengan susah payah, walaupun dia mengakui mencapai lantai 10 Wisma Dharmala secara menumpang lift. "Angka sepuluh angka bagus, dan itu pertanda bagus pula bagi kita semua, meskipun sebenarnya kita belum sepenuhnya merdeka," kata sang penyair. Teriakan lantang agak parau dari penyair sepuh itu menyiratkan keprihatinannya terhadap kondisi bangsa ini yang sedang carut-marut lantaran generasinya dirongrong budaya negatif, dan masa depan yang kosong memerlukan perjuangan luar biasa. "Kita ini bangsa paripurna. Semua hal ada di sini mulai dari keberhasilan, kehormatan, kriminalitas, kebobrokan budaya, kriminalitas, mental bangsa hingga kemerdekaan bangsa yang tercabik asing, sehingga kita dililit tali utang luar negeri yang begitu besar," ujarnya. Masalah gelontoran pinjaman dari Dana Moneter Internasional (IMF) disebutnya sebagai pemicu industri korupsi. "Untuk bertahan waras saja kita sudah untung. Leher kita mudah dipatahkan IMF," demikian salah satu bait puisi Taufik Ismail. (*)

Editor: Priyambodo RH
COPYRIGHT © ANTARA 2006