Jakarta (ANTARA) - Wirausahawan Sosial Helianti Hilman mengatakan globalisasi ekonomi telah mengubah pola konsumsi menjadi lebih dibatasi dalam mengeksplor berbagai ragam pangan di seluruh penjuru dunia.
 

“Sebenarnya kalau kita lihat kondisi sekarang, ini dikendalikan oleh globalisasi ekonomi. Ini dimana- mana selalu bicara mengenai economy soft skill dan itu memaksa mereka untuk fokus (terhadap sejumlah jenis pangan saja),” kata Helianti dalam Kick Off G20 on Education and Culture yang diikuti secara daring di Jakarta, Rabu.
 

Helianti menuturkan kondisi tersebut telah memaksa para pemasok bahan pangan untuk fokus terhadap beberapa jenis pangan tertentu dan memunculkan adanya anggapan bahwa “keberagaman” merupakan sebuah hal yang rumit baik dari sisi logistik ataupun supply chain.
 

Dampaknya kini dunia dihadapkan di mana jenis karbohidrat yang dikonsumsi oleh masyarakat, didominasi oleh gandum, beras, jagung, kentang ataupun singkong. Padahal, terdapat ribuan spesies baik flora maupun fauna yang dapat lebih dikenali dan diolah.
 

“Beras, jagung dan terigu itu mendominasi sebanyak dua pertiga dari karbohidrat kita dan ini karena semua pendekatan dilakukan secara globalisasi sentralistik. Padahal sebenarnya solusi itu tidak harus semuanya sentralistik, terutama kalau kita berbicara mengenai makanan,” kata wanita yang juga Founder and Executive Chairperson Javara Indonesia itu.

Baca juga: Peran G20 dalam mewujudkan ketahanan pangan global

Baca juga: Indonesia dorong G20 wujudkan ketahanan pangan dan gizi

 

Menurutnya, hal tersebut sangat memprihatinkan bila tidak dikembangkan, sedangkan setiap daerah bahkan negara memiliki keragaman endemik yang sesuai dengan karakter masing-masing.
 

Sebagai contoh, kata dia, bahan pangan yang dikonsumsi di Antartika harus memiliki high fat dan tidak bisa disamakan dengan negara tropis.

Namun, kondisi saat ini memaksa semua orang melalui perdagangan di dunia untuk terus mengkonsumsi hal yang sama.
 

Kemudian memunculkan dampak lain berupa global diet issue yang menjadi tantangan dalam kesehatan dunia akibat pola makan yang kurang tepat. Seperti lahirnya anak yang mengalami malnutrisi ataupun stunting.
 

Helianti menegaskan bila penyamarataan bahan pangan itu harus diubah. Sebab, dunia perlu berkaca dari daerah yang tidak tersentuh oleh globalisasi dan terbukti memiliki tingkat kesehatan yang jauh lebih berkelanjutan dan sehat.
 

“Usia mereka jauh lebih panjang dibandingkan tempat-tempat yang tersentuh dengan globalisasi. Jadi kita perlu mencari cara baru untuk melihat bagaimana mengatasi ketahanan pangan dengan cara yang lebih berkelanjutan,” ucapnya.

Baca juga: Akademisi sarankan konsumsi delegasi G20 dari pangan lokal

Baca juga: RI harus suarakan investasi berkelanjutan untuk petani kecil pada G20


 

Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Zita Meirina
COPYRIGHT © ANTARA 2022