Jakarta (ANTARA) - Sekretaris Jenderal Kementerian Komunikasi dan Informatika RI (Kemenkominfo) Mira Tayibba mengatakan pada dasarnya warga Indonesia cenderung lebih adaptif dalam menggunakan teknologi digital selama masa pandemi COVID-19 berlangsung.

“Dalam beberapa tahun terakhir, mungkin terutamanya pada saat pandemi kita dipaksa untuk belajar adaptif, untuk bisa menyesuaikan dengan kondisi dimana mobilitas dan aktivitas fisik sangat dibatasi,” kata Mira dalam Kick Off G20 on Education and Culture yang diikuti secara daring di Jakarta, Rabu.

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh Kominfo, Mira menyebutkan bila dilihat dari sisi pengguna, teknologi digital yang adaptif itu terlihat jelas dari sebanyak 74 persen masyarakat menggunakan internet selama pandemi.

Kemudian dari sektor Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), sebelum pandemi jumlah UMKM hanya berkisar 8 juta di dalam platform digital itu. Namun setelah pandemi, yang bermigrasi ke platform digital berupa market e-commerce mengalami peningkatan ganda.

“Ternyata selama pandemi tahun 2020-2021, melalui gerakan Bangga Buatan Indonesia yang on boarding, nilainya atau jumlahnya hampir 8 juta,” ucap Chair of Digital Economy Working Group itu.

Baca juga: Pemerintah dorong industri hiburan adaptasi teknologi
Baca juga: Menkominfo dorong pers adaptasi kemajuan teknologi digital

Hal tersebut menurut Mira, menunjukkan bahwa masyarakat bisa menjadi adaptif terhadap kondisi, bisa menggunakan teknologi digital dengan baik juga memanfaatkan kesempatan dalam kondisi yang ada saat ini.

Namun sayangnya dari gambaran itu, dalam realita masih terdapat sejumlah kelompok yang belum memiliki kesempatan mengakses layanan digital. Baik karena jumlah akses terhadap infrastruktur yang terbatas atau karena layanan yang diberikan dirasa mahal.

Terdapat pula kemungkinan, pihak yang tidak memiliki kesempatan itu mengalami keterbatasan keterampilan maupun literasi dalam menggunakan teknologi digital sehingga tak ada nilai tambah yang dihasilkan, sehingga perlu segera dilakukan penanganan karena dapat menciptakan terisolirnya para pengguna itu.

“Kami sangat concern terhadap isu ini karena bila isu ini tidak di address secara ketat dan tepat, kesenjangan justru akan melebar ini yang kita sebut dengan digital paradox,” tegas dia.

Sedangkan bila melihat sisi penyedia layanan, dalam beberapa tahun terakhir mendapatkan tantangan untuk bertahan akibat adanya model bisnis konvensional.

Hal ini menyebabkan para penyedia harus berusaha keras mempertahankan eksistensinya karena berhadapan dengan ketidakseimbangan di lapangan, akibat munculnya model bisnis baru.

“Jadi kesenjangan-kesenjangan ini yang ingin kami address. Digital economy working group karena pada prinsipnya transformasi digital Indonesia, itu sangat sejalan dengan kepentingan global juga,” ujarnya.

Baca juga: Teknologi digital bantu rumah sakit hadirkan layanan berkualitas
Baca juga: Penggunaan data dan teknologi percepat inklusi keuangan

Walaupun demikian, menurut Mira, meskipun pandemi membuat semua kegiatan menjadi terbatas, nyatanya masih bisa memberikan berbagai solusi melalui penggunaan teknologi digital.

Dalam hal ini, pemerintah lebih cermat dalam menciptakan sebuah situasi yang aman dalam ruang digital namun kegiatan tetap bisa berjalan dengan lancar. Dari sisi pemantauan pada anak ataupun kelompok rentan, teknologi digital membantu pengawasan menjadi lebih terbuka.

Hanya saja, hal itu membutuhkan perluasan wawasan melalui edukasi dan literasi digital yang tidak hanya diterapkan dalam industri dan sosial, tetapi juga dalam sistem pendidikan.

“Jadi ini dapat menjadi upaya untuk berkolaborasi. Bagaimana kita bisa memanfaatkan teknologi teknologi yang produktif dan menciptakan nilai tambah,” kata Mira.

Baca juga: EFishery revitalisasi tambak udang dengan teknologi digital

Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Budhi Santoso
COPYRIGHT © ANTARA 2022