Jakarta (ANTARA News) - Yosepha Hera Iswandari, istri terhukum Pollycarpus Budihari Priyanto, meminta hakim Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta berani memutus bebas suaminya jika memang tidak terbukti membunuh aktivis HAM Munir. "Jangan takut dengan tekanan, intimidasi dari siapa pun dan dari mana pun. Jangan membiarkan hukum dicampuri politik," kata Hera saat mendampingi tim pembela Pollycarpus menyerahkan memori banding di PN Jakarta Pusat, Senin. Hera merasa putusan PN Jakarta Pusat yang menghukum Pollycarpus 14 tahun penjara pada 20 Desember 2005 sangat tidak adil karena menurut dia para jaksa dan hakim hanya melempar bola panas dari tangan mereka. Hera menambahkan, putusan itu hanya sebuah dongeng yang berdasar asumsi-asumsi belaka karena berdasar fakta persidangan, sama sekali tidak terbukti siapa yang melakukan pembunuhan serta motivasi pembunuhan dan bagaimana pembunuhan itu dilakukan. "Berhentilah melempar bola panas tetapi beranilah mengatakan bola panas berhenti di sini dan memutus bebas Pollycarpus karena dia tidak membunuh Munir apalagi merencanakannya," ujarnya. Dia mengatakan, kehendak untuk semata-mata menghukum Pollycarpus tanpa berhasil membuktikan dakwaan JPU adalah bukti bahwa yang penting seolah-olah ada pelaku pembunuhan. "Mengapa kita malu untuk mengatakan atau mengakui bahwa pelaku pembunuhan Munir belum atau tidak ditemukan. Hal yang sama terjadi juga di AS dengan terbunuhnya Presiden John F Kennedy yang sampai hari ini belum ketemu pembunuhnya tetapi tidak lantas mereka mencari kambing hitam dengan mengorbankan orang," ujarnya. Hera juga menuntut tanggung jawab para aktivis HAM yang pada persidangan pertama Pollycarpus 8 Agustus 2005 telah beramai-ramai meneriakkan kata "pembunuh" pada suaminya dan sering berorasi dengan mengatakan seolah-olah Pollycarpus terlibat dalam pembunuhan. Dia juga mempertanyakan pernyataan mantan anggota Tim Pencari Fakta (TPF) Munir yang akan menyelidiki aliran dana. "Apakah aliran dana dimaksud adalah aliran dana untuk Pollycarpus? Jika ada, tolong umumkan kepada masyarakat demikian juga jika tidak ada," katanya. Hera juga menyampaikan pesan terakhir dari Pollycarpus yakni lebih baik suaminya itu mati terhormat dengan ditembak misalnya daripada harus menjalani hukuman bahkan satu hari pun atas kesalahan yang tidak dilakukannya. Sementara itu, pembela Polllycarpus, M Assegaf, mengatakan salah satu poin keberatan yang diajukan dalam memori banding adalah kesalahan Majelis Hakim yang sangat fundamental yang digunakan dalam pertimbangan hukum untuk memvonis Pollycarpus 14 tahun penjara. "Majelis Hakim dalam pertimbangan hukumnya nyata-nyata telah melakukan kekeliruan yang fatal yang melanggar hukum acara pidana karena membuat pertimbangan sendiri yang lain dari yang termuat dalam dakwaan jaksa," kata Assegaf. Menurut dia, perbuatan Majelis Hakim tersebut telah melanggar Pasal 197 ayat 1 KUHAP, karena pertimbangannya tidak berdasar pada fakta dan keadaan di persidangan menurut keterangan saksi ahli dan terdakwa dalam menyatakan masuknya arsen (racun) ke dalam tubuh Munir melalui mi goreng. Padahal menurut JPU dalam surat dakwaan, masuknya racun itu melalui jus jeruk. "Itu berlaku pula dalam pertimbangan Majelis Hakim untuk menyatakan motivasi Pollycarpus untuk membunuh Munir," ujar Assegaf. Menurut dia, dalam surat dakwaan JPU, Pollycarpus berniat membunuh Munir karena secara pribadi terganggu dengan aktivitas Munir yang dianggap mengancam keutuhan NKRI. Namun dalam pertimbangan hukumnya, Majelis Hakim berpendapat motivasi Pollycarpus untuk membunuh Munir didapat setelah Pollycarpus berbicara dengan Deputi V BIN, Muchdi PR, tentang aktivitas Munir yang dianggap mengganggu. Assegaf berpendapat, Majelis Hakim seharusnya cukup membutikan dakwaan JPU dalam pertimbangan hukumnya dan tidak membuat pertimbangan-pertimbangan baru yang sebenarnya tidak pernah terungkap di persidangan. Tim Pembela Pollycarpus berpendapat Majelis Hakim dalam pertimbangan hukumnya hanya berdasarkan spekulasi dan imajinasi mereka sendiri.(*)

Editor: Bambang
COPYRIGHT © ANTARA 2006