Bengkulu (ANTARA News) - Ahli hukum internasional dari Universitas Bengkulu, Amirizal menilai tidak cukup alasan bagi Australia untuk memberikan suaka politik bagi 43 warga Papua yang kini berada dan ditahan di negara tersebut. "Pemberian suaka tidak bisa dilakukan sembarangan. Satu negara bisa memberikan suaka jika telah terjadi penindasan terhadap pihak atau pencari suaka tersebut," kata Amirizal di Bengkulu, Rabu. Penindasan bisa dilatarbelakangi karena perbedaan arah politik, keyakinan dan agama. Sedangkan terhadap warga Papua tersebut sama sekali tidak ada penindasan dari Pemerintah Indonesia. Bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah meminta agar pemerintah Australia mengembalikan warga Papua itu dan memberi jaminan akan diperlakukan dengan baik. Itu tandanya memang tidak ada permasalahan. "Saya melihat ada rekayasa politik yang dilakukan oleh warga Papua yang minta suaka. Mereka mengaku sebagai aktivis dan karena bertentangan dengan pemerintah mendapat perlakuan tidak adil atau ditindas," katanya. Untuk itu, Pemerintah Australia tidak bisa hanya mendengarkan keterangan dari para peminta suaka. Mereka seharusnya meminta konfirmasi pemerintah Indonesia untuk kemudian dikonfrontir dengan keterangan warga Papua itu. Amirizal juga mengingatkan Australia agar tidak memberikan suaka kepada warga Papua tersebut, karena bisa menimbulkan ketegangan politik antara kedua negara. "Jika Australia tetap memberikan suaka, maka sama saja dengan telah bersikap tak bersahabat dan merusak hubungan politik," ujarnya. Pemerintah, lanjut Amirizal, perlu lebih mengefektifkan upaya diplomatik agar Australia tidak sampai memberikan suaka kepada warga Papua itu, karena dampaknya sangat besar. "Kalau suaka diberikan, akan ada anggapan dari dunia internasional bahwa Indonesia tidak aman dan telah terjadi penindasan pada warga Papua, sehingga membuka celah bagi pihak luar untuk masuk dan ikut campur pada masalah dalam negeri kita," ujarnya. (*)

COPYRIGHT © ANTARA 2006