Jakarta (ANTARA) - Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mengatakan Program Dapur Sehat Atasi Stunting (Dashat) mengalami kesulitan mengolah bahan pangan lokal karena adanya hoaks terkait kesehatan tersebar dalam masyarakat.

“Dashat dikembangkan di Kampung Keluarga Berencana (Kampung KB). Kampung kita itu sekarang ada 16 ribu jumlahnya. Kita memang sudah launching ini dari bulan Agustus lalu, tapi perkembangannya lambat,” kata Plt Deputi Bidang Pengendalian Penduduk BKKBN Dwi Listyawardani saat dihubungi ANTARA melalui telepon di Jakarta, Senin.

Program yang diusung oleh pihaknya itu mengalami perkembangan lambat, karena banyak isu kesehatan dikembangkan secara tidak benar dalam masyarakat.

Baca juga: Pakar: Tidak semua anak bertubuh pendek alami stunting

Isu-isu tak benar itu, kata dia, banyak dikembangkan dari kondisi seseorang yang menderita alergi pada makanan tertentu. Misalnya pada hasil laut seperti udang, yang diyakini dapat menimbulkan sebuah alergi atau ikan berisiko menimbulkan gatal-gatal pada tubuh anak.

Hal yang sama juga dialami oleh telur yang dihubungkan sebagai penyebab seseorang terkena bisul atau ikan lele yang dianggap tak layak konsumsi karena hidup di area kotor seperti saluran air atau lumpur dan memiliki banyak bakteri.

Termasuk pemberian susu kaleng yang dianggap lebih praktis jika dibandingkan ibu memberikan ASI eksklusif pada bayi.

Baca juga: Orang tua bisa cegah stunting dengan pantau tumbuh kembang anak

“Seringkali makanan itu dikaitkan dengan nilai sosial. Singkong misalnya, singkong dianggap tidak bergengsi karena adanya sebutan ‘anak singkong’ mengakar di masyarakat. Padahal kalau diolah lagi misal dicampur dengan pisang, harga diri bahan itu bisa naik dan lebih bergizi,” kata Dani.

Bahan-bahan yang sebetulnya memiliki gizi tinggi bagi anak, akhirnya tak diberikan oleh orang tua karena banyak orang tua cederung mengikuti informasi yang tidak benar tersebut. Menyebabkan timbulnya permasalahan kompleks pada anak seperti kurang gizi pada anak bahkan mengalami kekerdilan.

“Makanya kita harus bisa koreksi ini dari keluarga. Karena makanan terbaik itu makanan yang diolah di rumah tangga sebetulnya,” ujar dia.

Baca juga: Pentingnya rencanakan kehamilan untuk cegah stunting

Dengan demikian, Dashat harus benar-benar memperkuat edukasi terutamanya pada para ibu agar bisa mengolah bahan pangan dengan baik sekaligus mengubah pemikiran yang sebelumnya didasari oleh hoaks tersebut.

Menurut Dani, Dashat akan memberikan bantuan penguatan edukasi pada keluarga yang dirasa mampu dari segi finansial. Sedangkan pada keluarga yang tidak mampu akan diberikan makanan tambahan di lapangan.

Hanya saja, anggarannya pun masih terbatas. Bila menunggu bantuan dari CSR, ia merasa dana yang bersifat sukarela itu tidak akan membuat Dashat berkembang secara efektif.

Ia mengatakan hanya melalui dana desalah yang dapat memaksimalkan peran Dashat untuk mengolah bahan pangan lokal sekaligus memaksimalkan pemberian gizi pada anak tu.

“CSR itu paling hanya menyediakan buat desa-desa yg dekat dengan area pabrik mereka saja. Tidak bisa kita mengandalkan sumbangan orang. Untuk itu kita ingin agar dana desa bisa membantu subsidi kebutuhan gizi anak-anak stunting dan ibu hamil terutama dari keluarga tidak mampu,” kata Dani.

Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Heru Dwi Suryatmojo
COPYRIGHT © ANTARA 2022