Jakarta (ANTARA News) - Dunia Islam harus bersatu menghadapi "propaganda abu-abu" (grey propaganda) dari negara-negara Barat yang mengidentikkan Islam dengan terorisme, seperti tampak dalam pencitraan Nabi Muhammad dalam karikatur oleh media Denmark, Norwegia, dan Perancis, kata seorang analis intelijen. "Dunia Islam harus bersatu menghadapi `grey propaganda` ini," kata Analis Intelijen, AC Manullang, di Jakarta, Senin, menanggapi gelombang protes umat Islam di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, akibat pemuatan karikatur oleh suratkabar Denmark, Jyllands-Posten, yang kemudian diikuti oleh media Norwegia dan Perancis itu. Perdana Menteri Denmark, Anders Fogh Rasmussen, kata Manullang, menilai keadaan ini sebagai politik seperti terlihat dari pernyataannya bahwa pemerintahannya boleh-boleh saja meminta maaf, namun tidak mempunyai hak apapun untuk melarang atau menghentikan kebebasan berekspresi dan kebebasan pers. "Sekarang ini, yang membahayakan kita di Indonesia adalah justru apa yang diungkapkan mereka (elemen Barat-red) supaya Indonesia anti kepada Denmark dan Barat umumnya ...," katanya. Dalam konteks ini, Indonesia harus berhati-hati dan waspada, serta bersikap tegas dalam menghadapi propaganda abu-abu Barat untuk menyerang siapa saja yang dianggap mereka menggunakan agama untuk kepentingan politik itu. "Yang perlu diketahui masyarakat adalah bahwa kita harus berhati-hati dan mewaspadai upaya pembodohan/propaganda abu-abu dari `Westernisasi` ini. Jangan mau kita diperalat untuk kepentingan mereka dengan senantiasa menyadari bahwa kita sekarang berhadapan dengan teror dan kecamuk perang intelijen yang menggunakan prinsip `kita sama kita untuk beradu`," kata Manullang. Strategi utama Barat Apa yang sebenarnya menjadi bagian dari Grand Strategy (strategi utama) global Barat pasca Perang Dingin adalah mencitrakan Islam sebagai musuh bagi proyek Westernisasi, katanya. Pihak Barat khawatir jika Islam dijadikan sejumlah orang ideologi dan "kuda Troya politik untuk mencapai kekuasaan", katanya. Hanya saja, jika reaksi umat Islam Indonesia terhadap pemuatan karikatur di media Denmark, Norwegia, dan Perancis itu menjadikan negeri ini "ribut" dengan Uni Eropa, bisa saja hal itu merupakan pintu masuk bagi mereka untuk menjadikan Indonesia sebagai "Afghanistan" dan "Pakistan" kedua, katanya. Karikatur itu antara lain menggambarkan Nabi Muhammad memakai sorban yang bagian atasnya dilekati bentuk bom waktu dan memperlihatkan Nabi sebagai orang Badui dengan mata terbeliak sedang menghunus pedang, ditemani dua wanita berbusana hitam. Gambar tersebut dicetak kembali dalam sebuah majalah Norwegia pada awal bulan lalu, sehingga memicu kemarahan di kalangan negara Islam. Perdana Menteri Denmark Anders Fogh Rasmussen, sempat mengatakan pemerintahnya tidak dapat bertindak atas pemuatan kartun-kartun Nabi Muhammad yang memicu kemarahan umat Islam itu. Sejak Jyllands-Posten menerbitkan kartun-kartun itu September lalu, pemerintah Denmark berulang kali membela dan berlindung di balik hak kebebasan berbicara. "Pemerintah tidak dapat mempengaruhi media. Pemerintah dan negara Denmark karena itu tidak dapat bertanggungjawab atas apa yang diterbitkan oleh media independen," kata Fogh Rasmussen. Bahkan Pemerintah Denmark mendapat dukungan luas dari publik atas sikapnya menyangkut kartun-kartun itu. Satu jajak pendapat pendapat menunjukkan 79 persen warga Denmark berpendapat bahwa Fogh Rasmussen tidak perlu menyatakan permintaan maaf dan 62 persen mengatakan suratkabar itu hendaknya tidak meminta maaf. Akibat pemuatan karikatur itu, gelombang unjuk rasa umat Islam terjadi di berbagai negara. Ratusan anggota dan simpatisan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) berunjuk rasa di depan Kedubes Denmark di Jakarta, pada Senin guna memprotes pemuatan karikatur yang mereka anggap sangat menyakiti hati kaum Muslimin Indonesia dan dunia. (*)

COPYRIGHT © ANTARA 2006