Jakarta, (ANTARA News) - Asisten Deputi Urusan Pengendalian Kerusakan Hutan/Lahan Kementerian Negara Lingkungan Hidup Hermono Sigit menyatakan bahwa sumur resapan dapat atasi masalah banjir tahunan di Jakarta dengan menggantikan fungsi situ (telaga) sebagai area penahan air sementara. "Salah satu cara yang mudah adalah dengan membangun sumur resapan mengingat selain karena air kiriman dari Bogor, banjir di Jakarta terjadi karena sudah berkurangnya kemampuan daerah resapan atau situ," kata Sigit. Pesatnya peningkatan kawasan pemukiman, kata dia, mengakibatkan penyempitan situ sehingga sebagian besar air tidak lagi tertampung dan mengalir di permukaan tanah. "Fungsi sumur resapan hampir sama dengan situ, sama-sama sebagai tempat menampung air sementara," ujarnya. Menurut dia, di daerah pemukiman sepadat Jakarta idealnya setiap rumah memiliki sumur resapan untuk menahan air hujan," katanya. Hampir di setiap daerah pemukiman di Jakarta, kata dia, tanah tertutup rapat oleh kawasan keras sehingga semua air hujan langsung mengalir ke sungai. "Otomatis sungai akan meluap kalau titik ambangnya terlampaui," katanya. Dikatakannya, pihak Pemda Jakarta sesungguhnya telah mengatur mengenai sumur resapan ini dalam Peraturan Daerah. "Karena tercantum dalam Perda maka semestinya wajib bagi setiap rumah yang dibangun di wilayah Jakarta untuk memiliki sumur resapan untuk meminimalkan volume air yang mengalir di permukaan tanah," ujarnya. Ukuran dan bentuk sumur resapan, kata dia, tidak jauh berbeda dengan septitank sehingga tidak memakan banyak lahan. "Tetapi salah satu permasalahan utama yang selalu terjadi di Indonesia adalah kurangnya komitmen. Kita punya banyak peraturan bagus yang penerapannya nol di lapangan," kata Sigit. Menurut dia, salah satu hal penting yang dibutuhkan adalah kepatuhan dan kesadaran publik terhadap peraturan. Pada kesempatan sebelumnya, Sigit juga menyatakan bahwa dalam waktu 10 tahun terakhir area penyerapan air di daerah Jabotabek menyusut sekitar 50 persen sehingga sebagian besar air mengalir di atas permukaan tanah dan mengakibatkan banjir di musim hujan. "Penyusutan sebanyak 50 persen itu tidak semata-mata pada jumlah tetapi juga pada luas area," katanya. Oleh karena berbagai hal, kata dia, luas area serapan air makin menyusut, misal Danau Sunter, bila dibandingkan sebelum tahun 90an boleh jadi luasnya telah menyusut. "Jadi masalahnya bukan hanya di jumlah tapi juga ukuran," ujarnya. Menurut dia, sepuluh tahun lalu di seluruh Jabotabek diperkirakan ada 21 situ (daerah untuk menahan atau menampung air). "Saat ini diperkirakan tidak lebih dari 15 dengan ukuran yang jauh lebih kecil," katanya. Sejumlah situ di Jakarta pada umumnya telah berubah menjadi pemukiman. Lebih lanjut dia mengatakan bahwa salah satu penyebab banjir tahunan di Jakarta selain air pasang adalah retensi atau kemampuan situ menyerap air yang sudah terlampaui. "Situ yang ada sudah tidak mampu lagi menyerap air yang sangat berlebih," katanya. Kalau situ yang ada sudah tidak mampu lagi, kata dia, maka selama tidak dilakukan suatu penambahan situ, sisa air yang tidak terserap akan mengalir di atas permukaan tanah mengakibatkan banjir setiap curah hujan meningkat. Oleh karena itu, lanjut dia, sumur resapan diperlukan untuk menggantikan fungsi situ. Sementara itu Dekan Fakultas Tehnik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Indonesia (ITI) Rino Wicaksono mengatakan bahwa jika perumahan itu tidak bisa dibangun karena alasan ekonomis maka dapat juga dibangun suatu area penampungan atau danau buatan. "Danau dapat menampung air sebelum terserap tanah seperti yang ada di Karawaci, Tangerang dan California, AS. Bahkan dengan sistem seperti itu California yang curah hujannya tinggi dapat menjual air yang ditampung di danau buatannya ke Nevada AS saat musim kemarau," ujarnya seraya menambahkan bahwa cara kerja danau buatan lebih kurang sama dengan sumur resapan.(*)

COPYRIGHT © ANTARA 2006