Jakarta (ANTARA News) - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Bantuan Timbal Balik Masalah Pidana untuk disahkan menjadi Undang-Undang (UU). Persetujuan itu disampaikan oleh ke 10 Fraksi yang ada di DPR saat menyampaikan pendapat akhir fraksinya terhadap RUU Bantuan Timbal Balik Masalah Pidana dalam Rapat Paripurna Dewan yang dipimpin Wakil Ketua DPR, Soetardjo Soerjoguritno, di Jakarta, Selasa. Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP) melalui juru bicaranya, Eva Sundari, mengatakan bahwa UU ini bukan saja untuk mengatasi kejahatan korupsi lintas negara, tetapi bisa juga untuk mencegah kejahatan jual beli manusia lintas negara (human trafficking). Sedangkan, Juru bicara Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS), Abdul Azis, saat membacakan pandangan fraksinya mengenai RUU Bantuan Timbal Balik Masalah Pidana juga mengatakan, pemerintah harus melakukan kerjasama dengan negara lain untuk memburu harta koruptor yang disimpan di luar negeri. Sementara itu, juru bicara Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB), Nursyahbani Katjasungkana, juga menyatakan hal serupa. Menurut FKB, adanya UU Bantuan Timbal Balik Masalah Pidana, Pemerintah dapat mengejar koruptor dan mengembalikan hartanya yang disimpan di luar negeri. Dalam rapat paripurna yang dipimpin Wakil Ketua DPR dari FPDIP, Soetardjo Soerjogoeritno, itu fraksi-fraksi DPR berpendapat bahwa UU Bantuan Timbal Balik Masalah Pidana dapat mengatasi sejumlah tindak pidana yang memerlukan bantuan negara lain dalam penyelesaiannya. Tindakan pencucian uang dan pelarian koruptor ke negara lain, misalnya akan dapat diatasi dengan menggunakan UU ini, demikian menurut pandangan FPKS. Dalam RUU Bantuan Timbal Balik masalah Pidana diatur mengenai siapa yang berwenang mengajukan permohonan bantuan kepada asing dalam masalah pidana, serta bantuan apa yang bisa dimintakan. Dalam RUU tersebut dijelaskan bahwa yang dapat mengajukan permintaan bantuan adalah Menteri yang bertanggungjawab di bidang hukum. Dalam pasal 9 ayat (1) RUU tersebut dinyatakan bahwa Menteri dapat mengajukan permintaan bantuan kepada negara asing secara langsung atau melalui saluran diplomatik. Ayat (2) disebutkan bahwa permintaan bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diajukan oleh Menteri berdasarkan permohonan dari Kepala Kepolisian Negara RI (Kapolri) atau Jaksa Agung. Ayat (3) menyebutkan bahwa Dalam hal tindak pidana korupsi, permohonan bantuan kepada Menteri selain Kapolri dan Jaksa Agung juga dapat diajukan oleh Ketua Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam pasal 3 ayat (1) RUU tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan bantuan timbal balik dalam masalah pidana merupakan permintaan bantuan berkenaan dengan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di persidangan di pengadilan. Sedangkan bantuan yang dimaksud dalam pasal 3 ayat (1) RUU tersebut dapat berupa mengidentifikasi dan mencari orang, mendapatkan pernyataan atau bentuk lainnya, menunjukkan dokumen atau bentuk lainnya, mengupayakan kehadiran orang untuk memberikan keterangan atau membantu penyidikan. (*)

Editor: Priyambodo RH
COPYRIGHT © ANTARA 2006