Jakarta (ANTARA) - Staf Ahli Bidang Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan Kementerian PPN/Bappenas Vivi Yulaswati mengatakan indeks inklusivitas Indonesia terhadap kesetaraan gender dan disabilitas masih tergolong rendah.

“Indeks inklusivitas Indonesia kalau dibandingkan dengan berbagai negara, tidak hanya di negara secara global namun juga di ASEAN, ternyata Indonesia relatif rendah,” kata Vivi dalam Webinar “Mendobrak Bias dan Mewujudkan Kesetaraan Gender” yang diikuti secara daring di Jakarta, Selasa.

Vivi menyebutkan bahwa Indonesia menduduki peringkat ke-125 atau berada di bawah negara tetangga seperti Filipina, Vietnam, Singapura dan Thailand.

Peringkat pada indeks inklusivitas itu dihitung dengan melihat perhitungan ukuran holistik dari pembangunan kebijakan inklusif yang berfokus pada kesetaraan rasa atau etnis, agama, gender dan disabilitas.

“Ini menjadi tantangan kita bersama untuk meningkatkan kinerja kita negara Indonesia, di tengah negara-negara lain dan beberapa tantangan yang mengemuka,” ujar Vivi.

Peringkat yang tergolong rendah dibandingkan negara tetangga di ASEAN itu, menjadi sebuah catatan penting bagi negara untuk terus meningkatkan aksesibilitas bagi kelompok rentan termasuk kelompok disabilitas, agar bisa tumbuh secara inklusif.

Menurut Vivi negara harus bisa mengarusutamakan isu kesetaraan gender, disabilitas, dan inklusi sosial (GEDSI) dalam setiap kebijakan ataupun kegiatan dalam masyarakat.

Baca juga: Bank Dunia sebut masih ada kesenjangan upah antara pria dan wanita

Baca juga: Sri Mulyani: Pemimpin perempuan miliki banyak nilai tambah


Sebab, masih ditemukan sejumlah masalah seperti masih banyak perempuan memiliki lingkungan kerja yang kurang aman. Berdasarkan data Sakernas Maret 2021, hanya 1,13 persen tenaga kerja perempuan yang bekerja di lingkungan yang aman atau sehat.

Bahkan, terdapat kesenjangan pendapatan (pay gap) antara perempuan dan laki-laki di lingkungan kerja baik di desa maupun di kota.

Sayangnya lagi, baru terdapat 113 dari 548 daerah di seluruh Indonesia yang memiliki peraturan daerah (Perda) terkait penyandang disabilitas. Dengan rincian 20 di antaranya adalah provinsi, 27 di antaranya adalah kota dan 66 di antaranya adalah kabupaten.

Kemudian dalam data Susenas 2021 dari sisi pendidikan, masih terdapat perbedaan yang signifikan antara perempuan dan laki-laki bila ditinjau dari tingkat pendidikannya. Perempuan yang tidak pernah sekolah lebih banyak 2,10 persen dibandingkan laki-laki.

Sedangkan perempuan yang tidak tamat SD adalah 2,34 persen lebih banyak dari laki-laki. Meskipun demikian, perempuan yang lulus dari perguruan tinggi sebanyak 10,06 persen atau lebih tinggi dari laki-laki yang ada sebesar 9,28 persen.

Vivi menekankan menyelesaikan GEDSI memerlukan kolaborasi yang dimulai dari level pendidikan yang lebih rendah guna memahami pemenuhan hak kelompok perempuan ataupun disabilitas.

Selain melalui bidang pendidikan, adanya pandemi COVID-19 memicu terjadinya transformasi digital dan teknologi yang dapat dijadikan sebagai kunci untuk mengakselerasi tidak hanya dari keberpihakan kebijakan saja, tetapi juga pemenuhan hak bagi kelompok-kelompok tersebut.

“Dengan menggunakan teknologi, dapat menjadi kunci bagi kita untuk mengakselerasi tidak hanya keberpihakan kebijakan tetapi juga pemenuhan hak-hak mereka,” ucap Vivi.

Baca juga: Menteri PPPA : Ketimpangan gender sebabkan perempuan rentan kekerasan

Baca juga: Menlu: Perempuan harus menjadi pejuang kesetaraan gender


Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Zita Meirina
COPYRIGHT © ANTARA 2022