Jakarta (ANTARA News) - Rupanya golf yang dikategorikan olahraga itu punya predikat lain di mata hukum formal Indonesia, yaitu hiburan! Mahkamah Konstitusi pun menanggapi serius permohonan pengujian UU Nomor 28/2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Pemohon pengujian produk hukum itu adalah Asosiasi Pemilik Lapangan Golf Indonesia dan sembilan perusahaan lapangan golf. Mereka merasa ada yang kurang pas dalam penerapan undang-undang itu mengingat kewajiban membayar pajak hiburan atas pemakaian lapangan golf.

Kesembilan perusahaan lapangan golf yang menjadi pemohonan adalah PT Pondok Indah Padang Golf (Tbk), PT Padang Golf Bukit Sentul, PT Sentul Golf Utama, PT Sanggraha Daksamitra, PT New Kuta Golf and Ocean View, PT Merapi Golf, PT Karawang Sport Center Indonesia, dan PT Damai Indah Golf.

Dalam sidang perdana pengujian Pasal 42 ayat (2) huruf g UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ini dipimpin oleh Ketua Hakim Panel Anwar Usman yang didampingi oleh M Akil Mochtar dan Achmad Sodiki.

"Pasal 42 ayat (2) huruf g undang-undang itu menyebabkan para pemohon dikategorikan penyedia jasa hiburan dan harus menanggung pajak tambahan yang dikenakan daerah-daerah melalui peraturan daerahnya," kata kuasa hukum pemohon, Benny Ponto, saat sidang di MK Jakarta, Kamis.

Pasal 42 ayat (1) huruf g UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah berbunyi: "Objek Pajak Hiburan adalah jasa penyelenggara hiburan dengan dipungut bayaran".

Sedangkan Pasal 42 ayat (2) huruf g berbunyi: "Hiburan sebagaimana dimaksud ayat (1) adalah (g) permainan bilyar, golf dan bowling".

Pemohon menilai Pasal 42 ayat (2) huruf g UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, khususnya kata "golf" bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.

Pemohon beralasan golf dalam Pasal 1 angka 12 dan angka 13 UU Sistem Keolahragaan termasuk kategori olahraga rekreasi dan olahraga prestasi.

Benny menegaskan, aturan itu menetapkan pelaku usaha di bidang lapangan golf bukan penyedia media olahraga melainkan sebagai penyedia jasa hiburan, sehingga hal tersebut merupakan tindakan yang diskriminatif.

Para pemohon yang seharusnya memiliki kedudukan hukum sebagai pelaku usaha bidang olahraga justru ditempatkan sebagai pelaku usaha di bidang jasa hiburan.

"Pemohon harus menanggung beban pajak tidak sama dengan pelaku usaha di bidang olahraga lain yang memiliki kategori sama dengan olahraga golf," kata Ponto.

Untuk itu pihaknya meminta MK menetapkan Pasal 42 ayat (2) huruf g UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, khususnya kata "golf" tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dengan segala akibat hukumnya. (J008)

Editor: Ade P Marboen
COPYRIGHT © ANTARA 2011