Jakarta (ANTARA) - Menghadapi tim yang diperkuat tiga megabintang, Real Madrid tak terlihat gentar, sekalipun dibuat pontang panting oleh striker eksplosif nan haus gol, Kylian Mbappe, pada babak pertama pertandingan leg kedua 16 besar Liga Champions melawan Paris St Germain, Kamis dini hari.

Tiga gol dari Karim Benzema dalam kurun 17 menit setelah selama satu jam tertinggal 0-1 oleh gol Mbappe dan sekaligus 0-2 secara agregat setelah PSG memenangi leg pertama dua pekan sebelumnya, membuat Madrid tak saja merebut tiket perempat final Liga Champions, tapi juga memberi pesan tegas kepada calon-calon lawannya bahwa mereka siap merebut kembali trofi Liga Champions.

Laga melawan PSG itu juga membawa pesan bahwa jangan pernah lengah sekalipun sedang memegang kendali, terlebih jika lawannya Real Madrid si raja Eropa.

Baca juga: Hattrick Benzema singkirkan PSG dan kirimkan Madrid ke perempatfnal

Tim yang tengah memuncaki klasemen LaLiga itu sudah 13 kali menjuarai Liga Champions, tiga kali runner up, dan 29 kali menjadi semifinalis yang adalah rekor terbanyak sepanjang sejarah kompetisi itu.

Sudah tiga tahun Madrid tak pernah lagi mengangkat trofi Liga Champions setelah klub-klub Liga Inggris merajalela sepanjang masa itu.

Namun kemenangan atas PSG dan catatan selama liga domestik musim ini, membawa pesan kuat bahwa Real bisa menciptakan implikasi besar dalam tatanan sepak bola Eropa.

Pertama, reevaluasi Lionel Messi. Laga itu membuat publik bertanya sudah tepatkah dia meninggalkan Barcelona ketika dia malah memupus seketika impian menjuarai lagi Liga Champions yang terakhir dia juarai pada 2015?

Pertanyaan lebih provokatif lagi adalah apakah Messi tengah memasuki episode akhir karirnya? Pertanyaan sama diajukan kepada Cristiano Ronaldo yang kini membela Manchester United, apalagi jika Ronaldo mengikuti jejak Messi, terlempar lebih dini dari Liga Champions musim ini.

Kedua pemain ini adalah maestro dunia yang sejak 2008 bergantian memenangi anugerah bergengsi, Ballon d'Or, kecuali 2018 ketika Luka Modric mematahkan hegemoni mereka.

Tetapi Messi sekarang memang berbeda dari Messi yang dulu, sekalipun tetap megabintang. Dia tak sesubur musim-musim sebelumnya.

Tahun ini dia malah menjadi pemain yang menciptakan assist terbanyak di lima liga besar Eropa.

Sewaktu menghadapi Saint-Etienne akhir Februari lalu, dia mengukuhkan diri sebagai pemain pertama dalam sejarah sepak bola Prancis yang membuat lima asisst kala melawan klub sama dalam pertandingan domestik.

Sejak manajer PSG Mauricio Pochettino menggeser Messi lebih ke tengah yang kadang memerankan false 9, permainan pemain Argentina ini semakin efektif.

Dia memang selalu menjadi kreator dan pencetak gol yang produktif sepanjang karirnya. Namun usianya yang tidak muda lagi, tahun ini genap 34 tahun, membuatnya tak bisa secepat dulu.

Baca juga: Benzema bilang tekanan, Pochettino sebut gol pertama ubah segalanya


Siapa pun bisa dikalahkan

Untuk itu saat ini Messi lebih mengorkestrai serangan PSG ketimbang penuntas.

Mengutip ESPN, dia menjadi pemberi assist teratas Ligue 1 musim ini dengan 10 assist yang nyaris sama dengan sewaktu dia bersama Barcelona pada musim 2017-2018 dan 2018-2019.

Statistiknya dalam merancang gol (1,15 per pertandingan) lebih tinggi ketimbang saat dia tiga musim terakhir bersama Barcelona. Dia juga membuat 2,6 umpan penting yang menciptakan gol per satu pertandingan.

Namun catatan itu juga menunjukkan Messi mungkin karena sebenarnya tercurah kepada sasaran lain, Piala Dunia 2022 di Qatar, terlebih dia sudah memenangi segalanya kecuali trofi agung sepak bola itu.

Dia mungkin hanya bersiap mengisi peran sama dalam timnas Argentina nanti di mana skuad lebih banyak diisi talenta muda yang cepat seperti Mbappe di PSG, tak semata akibat menurunnya kecepatan karena usia.

Seperti Ronaldo yang masih belum pasti mengikuti Piala Dunia karena Portugal harus menjalani laga hidup mati dalam playoff memperebutkan satu tiket ke Qatar, Piala Dunia Qatar menjadi kesempatan terakhir bagi kedua pemain.

Sekalipun begitu, mereka mungkin akan terus bermain, karena jika melihat Zlatan Ibrahimovic yang berusia 40 tahun, dalam sepak bola usia bukanlah penghalang.

Implikasi kedua, adalah masa depan Mauricio Pochettino sebagai penguasa Parc des Princes. Kemungkinan besar dia ditendang akhir musim.

Jika ini terjadi, maka pintu kembali ke Liga Inggris lebar-lebar terbuka untuk dia, dengan destinasi utama, Old Trafford.

Pelatih asal Argentina itu konsisten dianggap orang yang paling pantas merevitalisasi Setan Merah yang gonta-ganti pelatih tapi tak kunjung menemukan formula tepat guna kembali menapaki era emas seperti dibuat Sir Alex Ferguson.

Dengan demikian hal itu akan berimplikasi kepada Zinedine Zidane dalam melatih PSG. Musim depan nanti, kecuali ada aral melintang, Zidane mungkin menjadi orang berikutnya yang menangani klub kota Paris itu.

Namun pesan terkuat dari kemenangan Madrid adalah bahwa Real bisa membunuh tim-tim terkuat sekalipun.

Sebelum melawan PSG, Real sudah menghentikan Inter Milan yang sedang sengit bertarung dengan AC Milan dan Napoli guna berada di aras tertinggi sepak bola Italia.

Performa bagus Madrid selama Liga Champions ini berbanding lurus dengan pencapaiannya dalam liga lokal, termasuk dua kali menaklukkan seteru abadi Barcelona yang tengah bangkit memburu tempat di mana mereka biasanya dan seharusnya berada di LaLiga.

Baca juga: Mauricio Pochettino: apa sih kerjanya VAR?


Cermati selalu Ancelotti

Mengalahkan PSG dan Inter Milan adalah pesan kuat dari Madrid untuk semua calon lawannya, termasuk Bayern yang juga tengah memimpin klasemen, Manchester City dan Liverpool yang bertarung sengit guna mengakhiri musim ini di puncak klasemen.

Juga untuk Juventus yang sedang berusaha keras finis empat besar atau Ajax Amsterdam yang terus ditempel PSV Eindhoven dalam perebutan tempat pertama Liga Belanda.

Dalam konteks ini, dibandingkan dengan tim-tim itu, Real memiliki catatan lebih menarik, yakni hanya kalah dua kali dalam pertandingan liga selama musim ini, ketika Bayern sudah empat kali kalah, Manchester City dan Ajax tiga kali. Hanya Liverpool yang menyamai statistik Madrid ini.

Yang juga menarik di balik kemenangan Madrid itu adalah pesan "jangan pernah menganggap laga telah selesai hanya karena Anda unggul dan lebih dominan di lapangan, terutama kala menghadapi Real Madrid" yang memiliki pelatih sejeli Carlo Ancelotti.

Satu jam pertama pertandingan Madrid melawan PSG di Stadion Santiago Bernabeu itu sempat membuat banyak orang beranggapan mustahil Real mengatasi defisit gol lumayan besar.

Tertinggal 0-2 secara agregat, melawan tim yang amat mengerikan di depan gawang adalah sungguh bencana.

Namun seperti halnya pada banyak pertandingan yang pernah dipimpinnya, Ancelotti tahu pasti apa yang harus dilakukannya.

Dia menarik keluar Toni Kroos dan Marco Asensio pada menit ke-57 untuk diganti Eduardo Carmavinga yang energik dan Rodrygo.

Hasilnya, Madrid menjadi lebih menyengat di mana Vinicius Junior dan Karim Benzema menjadi lebih leluasa meneror lini belakang PSG.

Sementara lapangan tengah menjadi lebih solid, sampai-sampai bek tengah David Alaba turut menusuk pertahanan lawan, bukan dari bola mati, melainkan dari manuver bersama rekan-rekannya.

Perubahan itu menciptakan teroboson yang berpuncak kepada tiga gol Benzema. Ini petunjuk bahwa pelatih Italia itu bernaluri tajam dan jeli membaca permainan.

Untuk itu, Ancelotti adalah faktor besar lain untuk Madrid yang semakin maut, baik dalam liga maupun Liga Champions.

Ketika tren ini berkelanjutan, maka Madrid akan kembali menjadi dambaan pemain-pemain kelas dunia.

Ini baik sekali untuk Liga Spanyol. Ditambah menormalnya Barcelona, LaLiga bisa berubah semenggairahkan era sebelum pandemi membuatnya dibelit krisis.

Baca juga: Modric senang jika Mbappe gabung Real Madrid

Pewarta: Jafar M Sidik
Editor: Fitri Supratiwi
COPYRIGHT © ANTARA 2022