Jakarta (ANTARA) - Pada sesi Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Roma, Oktober 2021, Presiden RI Joko Widodo mengajak petinggi negara tergabung di dalamnya memperkuat arsitektur kesehatan global, guna membangun dunia lebih tahan pandemi dan berbagai guncangan ke depan.

Presiden menyebut salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut adalah menyusun penggalangan sumber daya kesehatan global. Hal ini mencakup dana, vaksin, obat, alat kesehatan, hingga tenaga kesehatan yang bisa diterjunkan setiap saat untuk membantu suatu negara menghadapi krisis.

Namun, sebelum membicarakan mengenai sumber daya kesehatan secara global, alangkah baiknya jika terlebih dahulu menilik bagaimana situasi di sektor kesehatan yang sedang dihadapi pemerintah di dalam negeri.

Terdapat beberapa permasalahan yang memicu Indonesia harus memiliki pemerataan sumber daya kesehatan di berbagai daerah agar tidak terjadi ketimpangan pelayanan.

Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI Abdul Kadir dalam acara Pramuktamar pertama PB IDI secara virtual pada Kamis (21/1) mengungkapkan Indonesia masih memiliki masalah kesehatan persisten, meskipun dana penanggulangan yang digelontorkan pemerintah tiap tahun semakin besar.

Kadir mengatakan belanja kesehatan Indonesia rata-rata Rp490 triliun. Namun dari dana tersebut, sebanyak 52,1 persen diserap melalui layanan BPJS Kesehatan dan pelayanan kesehatan pemerintah daerah, sedangkan serapan dana di pihak pelayanan kesehatan swasta maupun pribadi sebesar 47,9 persen.

Permasalahan kesehatan di Indonesia pun terus meningkat, di antaranya peningkatan angka harapan hidup orang Indonesia, yang menyebabkan perubahan piramida penduduk seiring penambahan jumlah lanjut usia (lansia).

Kemudian masalah kekerdilan pada anak atau "stunting", tercatat rata-rata 28 persen dari populasi balita Indonesia.

Sementara itu, kasus Tuberkulosis (TB) masih mengancam Indonesia, menempati peringkat kedua di dunia. Diikuti jumlah kematian akibat penyakit tidak menular, seperti kanker, diabetes, jantung, dan stroke lebih tinggi di Asia Tenggara dengan persentase rata-rata 60 per tahun.

Baca juga: Akademisi: Transformasi kesehatan jadi kunci hadapi pandemi masa depan

Yang tidak kalah miris, populasi perokok umur 15 tahun ke atas menempati prevalensi tertinggi di antara negara-negara ASEAN.

“Harusnya dengan makin banyak uang yang pemerintah keluarkan, derajat kesehatan masyarakat kita meningkat,” ujar dia.

Permasalahan lainnya, terdapat 171 wilayah kecamatan di Indonesia yang belum dilengkapi fasilitas puskesmas akibat pemekaran wilayah. Misalnya, di Provinsi Papua yang mana ada pemekaran satu wilayah menjadi 3-4 kecamatan.

Memang, pemerintah berencana membangun 67 puskesmas di Papua. 

Kendati demikian, Kadir mengatakan bahwa tantangan pemerintah selanjutnya adalah bagaimana memenuhi sumber daya manusia (SDM) tenaga kesehatan yang akan menempati puskesmas baru tersebut.

“Kita sekarang ini masih memiliki puskesmas yang tidak ada dokternya, 50 persen di Maluku dan Papua. Tentunya ini masalah pendidikan dokter dan sebagainya,” kata dia.

Dalam hal ini, Indonesia terbilang masih kekurangan jumlah dan pemerataan SDM kesehatan. Dengan tingkat lulusan dokter 12.000/tahun, perlu 10 tahun untuk memenuhi rasio dokter per populasi setara Asia.

Rata-rata sekitar 0,67 dokter untuk setiap 1.000 warga negara Indonesia. Padahal untuk rata-rata negara Asia 20 adalah 1,2 per 1.000 warga, sedangkan untuk negara tergabung dalam OECD adalah 3,2 per 1.000 warga.

Data Kemenkes yang dipaparkan juga menunjukkan kecenderungan perilaku masyarakat Indonesia yang berobat keluar negeri. Sekitar satu juta penduduk Indonesia berobat keluar negeri dan menghabiskan uang negara sebesar 11,5 miliar dolar AS atau Rp165 triliun.

Baca juga: Menkes sampaikan transformasi kesehatan Indonesia ke forum G20

Padahal, dokter yang menjadi rujukan berobat keluar negeri seperti Malaysia dan Singapura, justru berasal dari lulusan perguruan tinggi ternama.

Dari dari perbandingan tempat tidur dengan jumlah populasi penduduk, Indonesia berada di posisi 1,18, sedangkan di Asia secara rata-rata di posisi 3,3. Yang artinya, peluang membangun rumah sakit di Indonesia masih sangat besar.

Akan tetapi, kata dia, rumah sakit di Indonesia banyak terkonsentrasi di kota-kota besar. Ketersediaan tempat tidur rumah sakit di Maluku, Papua, dan Kalimantan juga terbilang masih sangat kurang.

Transformasi kesehatan

Atas dasar permasalahan kesehatan di dalam negeri yang beragam tersebut, transformasi kesehatan perlu dilakukan. 

Peran Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menjadi penting untuk mencapai pemerataan sumber daya kesehatan.

Ketua Umum Pengurus Besar (PB) IDI Daeng M. Faqih menilai transformasi kesehatan di berbagai bidang menjadi sebuah keharusan, agar pelayanan di Indonesia tidak tertinggal jauh dengan negara lain.

Transformasi juga berlaku pada dokter, yang mana posisinya strategis di bidang layanan kesehatan, baik di bidang kemampuan maupun literasi.

Baca juga: Pemanfaatan teknologi di sektor kesehatan akan terus tumbuh

Selain itu, Daeng menilai perlu adanya transformasi pada bidang pembiayaan pelayanan kesehatan agar tidak kalah bersaing di level global.

Penguatan puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan juga perlu diintensifkan, juga dilengkapi teknologi terkini agar lebih optimal.

“Saya kira semua subsistem pelayanan kesehatan harus dilakukan transformasi untuk menghadapi kompetisi pelayanan yang cukup tinggi,” ujar Daeng.

Di sisi lain, Kementerian Kesehatan juga telah menggagas enam pilar transformasi kesehatan Indonesia untuk mengatasi hal tersebut, di antaranya mengembalikan fungsi puskesmas sebagai pusat layanan kesehatan masyarakat dengan lebih banyak fungsi promotif dan preventif.

Kemudian reformasi layanan kesehatan sekunder dengan meningkatkan layanan edukasi dan penapisan kesehatan untuk mendeteksi penyakit sejak dini.

Selanjutnya, transformasi yang diperlukan adalah membangun sejumlah rumah sakit untuk empat pelayanan penyakit utama penyebab kematian tertinggi untuk penyakit jantung, stroke, kanker, dan cuci darah.

Pemerintah memprioritaskan target berdirinya layanan jantung terpadu di 34 provinsi pada tahun 2024. Kementerian Kesehatan memberikan prioritas penanganannya kepada PB IDI dengan memberikan beasiswa guna memenuhi kapasitas SDM dokter.

Selain itu, pemerintah menyiapkan regulasi untuk mendorong produksi alat kesehatan dalam negeri wajib dibeli dan digunakan pengelola rumah sakit. Produk impor tetap diizinkan bilamana produsen membangun pabrik di Indonesia.

Tentang SDM kesehatan, Kementerian Kesehatan telah menyiapkan 1.000 beasiswa ikatan dinas untuk pendidikan dokter bagi siswa dan siswi tamatan SMA berasal dari wilayah terpencil, perbatasan, dan kepulauan, untuk mengisi kekurangan tenaga medis di Maluku dan Papua. Termasuk didalamnya, mendorong dibukanya Fakultas Kedokteran lebih banyak dan memberdayakan potensi dokter diaspora Indonesia.

Layanan kesehatan ke depan tidak akan menggunakan alat manual lagi, tetapi seluruhnya harus berbasis teknologi dan mengembangkan bioteknologi.

Juga melalui Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2016 tentang Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan Undang-Undang Cipta Kerja atau Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, semua investor asing diberi mandat membangun rumah sakit di Indonesia dengan kepemilikan saham sampai 100 persen.

Upaya transformasi kesehatan tersebut selayaknya menjadi prioritas demi mewujudkan Indonesia tangguh menghadapi krisis, juga pemerataan sumber daya yang turut berkontribusi pada arsitektur kesehatan global.

 Baca juga: Menkes rombak jajaran untuk kawal transformasi sistem kesehatan
Baca juga: Kemenkes: 171 kecamatan di Indonesia belum punya puskesmas
Baca juga: Muktamar ke-31 IDI jadikan transformasi kesehatan nasional topik utama

Pewarta: Devi Nindy Sari Ramadhan
Editor: M. Hari Atmoko
COPYRIGHT © ANTARA 2022