Jakarta (ANTARA News) - Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia MS Hidayat menilai penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang terlalu cepat menimbulkan dampak yang tidak sehat terhadap sektor usaha di Indonesia. "Penguatan rupiah memang terlalu cepat, dari Rp9.800 per dolar AS menjadi Rp9.200 per dolar AS dalam waktu kurang dari tiga bulan. Ini sebetulnya kurang sehat," kata Hidayat usai bertemu dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di Jakarta, Kamis. Menurutnya, penguatan rupiah yang terlalu cepat membuat perhitungan biaya produksi menjadi sulit dan bisa berdampak terhadap kinerja keuangan suatu perusahaan. "Perencanaan pembiayaan menjadi kacau. Perencanaan suatu biaya produksi kalau menggunakan asumsi kurs yang sekarang bisa saja berubah dalam waktu satu bulan ke depan. Kalau jumlahnya jutaan dolar kan sangat mempengaruhi," katanya. Menurut Hidayat, yang diinginkan sektor usaha adalah stabilitas nilai tukar rupiah di suatu tingkat tertentu dalam kurun waktu yang lama dan menguat secara bertahap. "Menurut saya rupiah di level Rp9.200 per dolar AS terlalu kuat. Seharusnya rupiah di posisi Rp9.400 - Rp9.500 per dolar AS. Tetapi yang penting penguatannya bertahap dan tidak secepat sekarang," katanya. Hidayat juga mengatakan dirinya bisa mengerti bahwa penguatan rupiah yang cepat belakangan ini sangat dipengaruhi masuknya dana-dana jangka pendek dari luar negeri atau "hot money" yang sewaktu-waktu bisa segera keluar lagi dan membuat rupiah kembali melemah. "Ini sebetulnya gejala sementara, karena di awal tahun `hot money` melakukan `placement` di pasar modal dengan membeli saham-saham unggulan, sambil melihat kondisi Indonesia dalam 4 hingga 6 bulan ke depan," katanya. Sehingga untuk menjaga nilai tukar rupiah tetap stabil dan tidak terpengaruh masuknya modal jangka pendek, menurutnya harus diupayakan agar investasi langsung dari luar negeri masuk dengan jalan memperbaiki iklim investasi. Mengenai adanya "undisbursment loan" atau kredit di perbankan yang tidak bisa dicairkan sebesar Rp152 triliun pada tahun 2005, Hidayat mengakui hal itu disebabkan belum optimalnya kemampuan sektor riil menjalankan usahanya akibat adanya berbagai hambatan seperti regulasi dan keluhan ekonomi biaya tinggi. "Jadi agar dana perbankan bisa diserap, iklim usaha harus diperbaiki dengan perbaikan regulasi dan lain-lain yang selama ini kita usulkan," katanya. Hidayat juga menyesalkan adanya dana perbankan yang tidak bisa diserap tersebut, karena jumlahnya cukup besar dan apabila mampu diserap bisa membantu pertumbuhan dunia usaha.(*)

Editor: Heru Purwanto
COPYRIGHT © ANTARA 2006