PBB, New York (ANTARA News) - Indonesia meminta negara-negara anggota Gerakan Non-Blok (GNB) untuk membuktikan dukungannya bagi Palestina dalam upaya mendapatkan status keanggotaan penuh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yaitu dengan segera memberikan pengakuan Palestina sebagai sebuah negara merdeka.

"Yang paling mendasar adalah masalah Gerakan Non-Blok itu sendiri. Waktu Mei lalu, GNB melakukan pertemuan di Bali, kitalah yang mengingatkan bahwa sekitar 20 negara GNB sendiri masih belum mengakui negara Palestina merdeka," kata Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa, di New York, Kamis.

Permintaan Indonesia itu disampaikan Menlu pada pertemuan para menteri GNB-Komite Palestina yang berlangsung Markas Besar PBB di sela-sela rangkaian Sidang Majelis Umum ke-66 PBB.

"Itu (pengakuan Palestina merdeka yang belum diberikan, red) tentu sangat bertolak belakang dengan apa yang semestinya, yaitu GNB yang tanpa ragu mendukung Palestina," ujar Marty.

Selain Menlu Indonesia, pertemuan GNB-Komite Palestina itu sendiri juga menghadirkan beberapa pembicara, termasuk Sekjen Liga Arab Nabil El Araby dan Menlu Palestina.

Pada forum itu, Menlu Palestina Riyad al-Maliki kembali menyampaikan bahwa Palestina tetap akan menuntut haknya agar diterima sebagai anggota penuh PBB dan karena itu mengharapkan dukungan dari GNB.

Menteri al-Maliki juga mengungkapkan bahwa pascapertemuan GNB di Bali pada bulan Mei lalu, setidaknya enam negara sudah memberikan pengakuan terhadap negara Palestina merdeka.

"Namun masih ada 13 negara yang tersisa. Atas saran Indonesia, Komite Palestina menetapkan akan ada imbauan dan dorongan lagi kepada negara-negara GNB yang belum mengakui Palestina agar melakukannya pada saat-saat ini," tutur Marty.

Indonesia juga mengimbau semua negara GNB agar menyuarakan dan menegaskan dukungan bagi Palestina di PBB secara konsisten dalam setiap pertemuan bilateral, seperti yang dilakukan Indonesia.

Marty sendiri di sela-sela rangkaian Sidang Majelis Umum sepanjang minggu ini telah dan akan melakukan pertemuan bilateral dengan mitra-mitranya dari sejumlah negara, termasuk Palestina, Inggris, Portugal, Kazakhstan, Pakistan, Latvia, Georgia, Siprus, Nepal, Norwegia, Swedia, Yunani, Ukraina, China, Iran, Tunisia, Yordania, Irak dan Uni Emirat Arab.

Dalam pertemuan GNB-Komite Palestina, Indonesia juga mengingatkan tentang perjuangan untuk meraih setidaknya sembilan suara dukungan dari 15 negara anggota Dewan Keamanan (DK) jika Palestina pada Jumat (23/9) memutuskan untuk mengajukan permohonan sebagai negara anggota penuh PBB melalui DK --yang terancam gagal karena Amerika Serikat telah berjanji akan menggunakan hak veto.

Sebelum mengikuti pertemuan GNB-Komite Palestina, Menlu Marty pada Kamis melakukan pertemuan bilateral dengan Menlu Inggris William Hague.

Pertemuan kedua menteri itu selain membahas hubungan kedua negara dan apresiasi Inggris terhadap peran Indonesia di ASEAN, juga menyentuh masalah Palestina.

Inggris adalah salah satu negara anggota PBB --bersama AS, Perancis, China dan Rusia-- yang memiliki hak veto (penolakan).

"Saya tadi menanyakan kepada Bapak William Hague mengenai masalah Palestina, sampaikan bahwa Inggris sebagai anggota tetap DK-PBB memiliki kewajiban, tanggung jawab khusus agar masalah ini dikelola dengan baik," ungkap Marty.

Di tengah perubahan demokratisasi yang belakangan terjadi di kawasan Timur Tengah, seperti di Tunisia, Libya, Suriah dan Mesir, masalah Palestina tidak menunjukkan kemajuan ataupun pergeseran.

"(Ini) semakin mempertajam betapa tidak dapat diterimanya nasib yang dihadapi oleh bangsa Palestina," kata Marty.

Kendati menyampaikan terima kasih atas pandangan Indonesia tersebut, Menlu Hague tidak menyampaikan posisi Inggris di Dewan Keamanan soal permohonan Palestina menjadi negara anggota penuh PBB.

"Tapi kami (Marty, red) mendapat kesan yang kuat bahwa Inggris tidak menyarankan agar masalah ini dibawa ke Dewan Keamanan," kata Marty.

Selain pertemuan bilateral dan GNB-Komite Palestina, sepanjang hari Kamis, Marty melakukan sejumlah kegiatan utama di sela-sela Sidang Majelis Umum, Kamis, yaitu antara lain menghadiri pertemuan tingkat tinggi tentang Keselamatan Nuklir dan tentang peringatan 10 tahun Deklarasi Durban serta melakukan pertemuan dengan para menteri negara-negara Forest-11 --kelompok yang diprakarsai Indonesia pada 2007 untuk menyatukan negara-negara pemilik hutan tropis dunia.

Menurut Marty, pertemuan Forest-11 pada Kamis membahas strategi kerja sama negara-negara dengan hutan tropis terbesar menjelang Konvensi ke-17 Kerangka PBB mengenai Perubahan Iklim di Durban, Afrika Selatan, pada November 2011 serta Konferensi PBB tentang Pembangunan Berkelanjutan (Rio+20) di Brazil pada Juni 2012 mendatang.

Marty dalam pertemuan tingkat tinggi hari Kamis untuk memperingati 10 tahun Deklarasi Durban tentang anti-rasisme menyampaikan pertanyaan Indonesia atas nama 54 negara Asia Pasifik.

Indonesia meminta semua pihak untuk terus bekerja mencapai tujuan bersama dalam menjamin masyarakat untuk dapat menikmati hak-hak asasi manusia serta kebebasan mendasar, terutama bagi para korban rasisme.

Dalam pernyataannya, Menlu Marty memperingatkan semua pihak apakah sudah benar-benar bersatu dalam upaya menangani para korban rasisme, diskriminasi karena ras, xenophobia dan sikap-sikap intoleran lainnya seperti yang disebutkan dalam Deklarasi Durban dan Rencana Aksi.

"Kita melihat tumbuhnya tantangan-tantangan dalam bentuk baru, seperti perdagangan manusia, yang korbannya adalah cenderung perempuan dan anak-anak dari kalangan tingkat sosial ekonomi rendah. Diskriminasi tidak akan hilang dengan sendirinya, harus ditangani secara serius. Kalau tidak, bisa menjadi penyebab kerusuhan sosial dan kekerasan," kata Marty.

(T.K-TNY/E011)

Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2011