Yogyakarta, (ANTARA News) - Pembalakan liar di Pulau Jawa diperkirakan mencapai dua juta meter kubik kayu hasil hutan per tahun yang sebagian besar digunakan untuk memenuhi kebutuhan industri kayu dan mebel. "Sejauh ini kebutuhan kayu untuk industri perkayuan dan mebel di Jawa mencapai 8,2 juta meter kubik, sedangkan produksi tahunan kayu hanya berkisar 2 - 2,5 juta meter kubik," kata Direktur Java Learning Center (Javlec) Ir Hery Santoso MP di Yogyakarta, Senin (10/2). Kekurangan pasokan itu, katanya pada diskusi Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat di Jawa, membuka peluang bagi aktivitas pembalakan liar, dan tidak mengherankan jika kemudian kondisi hutan di Jawa semakin kritis. Berdasarkan data Info Jawa, lembaga yang menyediakan layanan data hutan dan kehutanan di Jawa, dari hutan di Jawa seluas tiga juta hektar, tutupan lahan yang tergolong bagus kini hanya 1,5 juta hektar. Sedangkan yang tergolong sebagai lahan sangat kritis sekitar 700 ribu hektar. Ia mengatakan, dengan kondisi hutan yang begitu buruk, jumlah penduduk khususnya yang tinggal di sekitar hutan juga demikian padat, sementara pemanfaatan hutan sangat intensif, praktis yang akan muncul adalah bencana lingkungan. "Banjir dan tanah longsor hanyalah salah satu akibat dari kondisi lingkungan yang buruk. Ke depan, akibat lainnya seperti kelangkaan air tanah dan kekeringan akan segera menyusul, kecuali ada upaya signifikan yang bisa mengurangi tingkat kerusakan lingkungan di Jawa," katanya. Namun berdasarkan pengalaman selama ini untuk mewujudkan upaya mengurangi kerusakan lingkungan ternyata tidak mudah. Misalnya, Pemerintah Daerah (Pemda) Jawa Barat pada 2001 pernah menggagas SK Jeda Balak, tetapi SK itu justru dimentahkan oleh Departemen Kehutanan dengan alasan akan mengganggu perkembangan sektor kehutanan. Pemda Jawa Timur juga pernah merumuskan kebijakan "Moratorium Logging", namun akhirnya juga menghadapi hal yang sama. "Selain dua contoh tersebut, sesungguhnya cukup banyak inisiatif dari berbagai pihak, baik masyarakat maupun pemda yang mengarah pada upaya penataan kembali penyelenggaraan kehutanan, sehingga memungkinkan tercapainya `good forestry governance`," katanya. Upaya itu pada umumnya dilandasi kesadaran bahwa dari tahun ke tahun bencana alam semakin sering terjadi. Banjir dan tanah longsor terus mengancam desa hutan di Jawa yang jumlahnya sekitar 6.000 desa. "Tetapi faktanya inisiatif itu masih menghadapi berbagai kendala. Salah satunya adalah kebijakan yang belum memungkinkan keterlibatan berbagai pihak dalam penyelenggaraan kehutanan," katanya.(*)

COPYRIGHT © ANTARA 2006