Jakarta (ANTARA News) - Perkembangan isu pergeseran patok batas negara antara Indonesia dan Malaysia di utara Tanjung Datu, ujung utara Pulau Kalimantan (di sisi Provinsi Kalimantan Barat), pemerintah menghendaki masyarakat mencermati secara baik.

"Komitmen kita jelas sekali, tidak akan menyerahkan satu jengkalpun tanah kita kepada negara lain. Masalahnya, pihak-pihak yang mengeluarkan berbagai pernyataan soal patok batas negara itu harus paham teknis penentuan patok itu," kata Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Djoko Suyanto, di Jakarta, Senin petang.

Isu Tanjung Datu, yang menganggap telah terjadi pencaplokan wilayah Indonesia oleh Malaysia di Negara Bagian Sarawak semakin santer terdengar. Informasi awal menyatakan, Patok A1 telah digeser dari posisi awalnya karena eksistensi fisik patok dari beton itu telah tiada lagi.

Di Tanjung Datu, Provinsi Kalimantan Barat, terdapat tiga patok batas negara yang penentuannya berdasarkan standar perundangan tertentu dan konvensi serta kesepakatan antara Indonesia dan Malaysia.

Menurut Suyanto, antara Indonesia dan Malaysia telah memiliki kesepahaman dan perjanjian perbatasan darat di Pulau Kalimantan, yang dituangkan dalam Perjanjian Perbatasan Indonesia-Malaysia pada 1978.

"Penelusuran di lapangan menghasilkan temuan bahwa pilar atau patok batas negara itu tergerus abrasi. Yang menentukan adalah koordinat pasti dan itulah yang menjadi pegangan kita tentang batas negara," kata bekas panglima TNI itu.

Menteri Luar Negeri, Marty Natalegawa, pun memberikan pernyataan soal Tanjung Datu itu. Menurut diplomat karir itu, penentuan batas darat Indonesia dan Malaysia relatif lebih mudah ketimbang batas laut.

Natalegawa menyatakan, ada beberapa konvensi yang diakui terkait penentuan perbatasan di Pulau Kalimantan itu, antara Belanda dan Indonesia serta Inggris dan Malaysia.

"Itu adalah pada 1891, 1915, dan 1928. tiga konvensi ini yang mengatur pernatasan negara. Dokumennya ada. Tugas kita di Kalimantan menegaskan demarkasinya, meskipun sudah ada perjanjiannya," katanya.

Pewarta: Ade P Marboen
Editor: Ade P Marboen
COPYRIGHT © ANTARA 2011