Malang, Jawa Timur (ANTARA News) - Pengamat militer dari Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Dr Muhadjir Effendy menilai, masalah perbatasan Indonesia dengan Malaysia memerlukan potret udara dari angkatan udara masing-masing negara.

Muhadjir saat ditemui di Malang, Senin mengatakan, pemotretan itu perlu untuk mengantisipasi "pencaplokan" wilayah di perbatasan oleh Malaysia, seperti yang akhir-akhir ini dibicarakan terjadi di wilayah Desa Camar Bulan dan Desa Tanjung Datu, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat.

"Indonesia dan Malaysia harus duduk bersama membangun tapal batas, termasuk masing-masing menetapkan garis demarkasinya, serta harus ada pemotretan udara oleh AU masing-masing negara," kata pengamat yang juga Rektor UMM ini.

Ia menilai, potret udara sangat dimungkinkan dilakukan bersama-sama, sebab selama ini empat negara, yakni Indonesia, Malaysia, Singapura serta Thailand sangat bersemangat melalukan patroli bersama di Selat Malaka dengan bergiliran dan penggunaan pesawatnya masing-masing.

Dengan adanya pemotretan udara, maka akan diketahui posisi jelas kedua negara, sehingga masalah "pencaplokan" tidak terjadi lagi.

Dikatakan Muhadjir, pencaplokan bisa terjadi karena tidak adanya tapal batas yang nyata. "Secara fisik selama ini hanya berwujud patok yang mudah digeser-geser" katanya.

Muhadjir mengaku, pernah mengusulkan agar Markas Divisi Kostrad bisa dipindah ke luar Jawa termasuk ke Kalimantan, sehingga bisa mengantisipasi adanya "pencaplokan" oleh negara tetangga.

Sebelumnya, Kepala Staf TNI Angkatan Darat (Kasad) Jenderal Pramono Edhie Wibowo menjamin bahwa sepanjang wilayah perbatasan Indonesia dengan Malaysia tetap aman.

Terkait masalah "pencaplokan" wilayah Desa Camar Bulan dan Desa Tanjung Datu, Kabupaten Sambas, oleh Malaysia, Pramono Edhie Wibowo mengatakan hal itu masih sebatas isu.

"Namanya isu terus terang saja kita harus duduk bersama, bicarakan bersama dan jangan hadapi dengan emosi karena kita belum tahu siapa benar dan yang salah," katanya. (ANT-MSW)

Editor: Ade P Marboen
COPYRIGHT © ANTARA 2011