Jakarta (ANTARA) - Direktur Pasca-Sarjana Universitas YARSI Prof Tjandra Yoga Aditama mengatakan sangat penting bagi pimpinan dunia terutama dalam Presidensi G20 untuk memikirkan penyusunan pendanaan bagi penyakit Tuberkulosis (TBC).

“Perlu adanya perencanaan anggaran yang lebih baik untuk memenuhi kebutuhan (pasien TBC) tersebut,” kata Tjandra dalam Webinar 1st Health Working Group Side Event on Tuberculosis-Day 2 yang diikuti di Jakarta, Rabu.

Tjandra menuturkan selama ini telah terjadi sebuah kesenjangan di dalam rencana anggaran untuk penanggulangan penyakit tuberkulosis. Pada regional Asia Tenggara Badan Kesehatan Dunia (WHO) saja misalnya, anggaran yang dibutuhkan mencapai 3 miliar US dolar, namun dalam rencana strategi nasional anggaran justru hanya sebesar 1,39 miliar US dolar.

Baca juga: Menkes: Penanganan tuberkulosis butuh investasi ilmu pengetahuan
Baca juga: Stop TB: Tuberkulosis jadi ancaman bagi keamanan kesehatan global

​​​​​Kesenjangan juga terjadi antara rencana penganggaran dan dana yang tersedia di lapangan. Tjandra menjelaskan di dalam pelaksanaannya, anggaran yang disediakan untuk daerah justru menjadi lebih kecil lagi yakni hanya sekitar 1 miliar US dolar.

“Makanya ada kebutuhan bahwa pendanaan nasional harus ditingkatkan,” kata Tjandra yang juga pernah menjabat sebagai Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara itu.

Tjandra mengatakan penyusunan anggaran menjadi sangat penting untuk menyiapkan peta jalan terkait dengan adanya jenis vaksin baru bagi tuberkulosis. Banyak dana diperlukan untuk keperluan pengenalan vaksin dan regimen baru ataupun produksi vaksin.

Dalam Presidensi G20, Tjandra menyarankan agar setiap pimpinan dunia perlu meningkatkan anggaran TB sampai tiga atau empat kali lipat. Termasuk anggaran secara domestik masing-masing negara dengan advokasi dan komitmen politik.

Baca juga: Jaga kebersihan diri bisa cegah terkena TB termasuk di masa pandemi
Baca juga: Tips dokter cegah infeksi TB dan jaga udara tetap sehat di rumah

Menurut dia, strategi perencanaan nasional untuk tuberkulosis (TB National Strategic Plan) juga perlu disempurnakan dari aspek perencanaan anggarannya.

“Termasuk diupayakanya sistem cukai khusus untuk penyakit tertentu, seperti airline tax lewat program UNITAID,” ujarnya.

Kemudian, dapat dibuat sebuah mekanisme penganggaran yang inovatif dari Badan Donor Internasional seperti loan buy back GF dan lain sebagainya. Penting pula bagi sebuah negara dalam menggali adanya peran sektor swasta dan filantropi.

Menurut Tjandra, setiap negara juga bisa melakukan efisiensi biaya dengan mengintegrasikan program ataupun layanan antara lain seperti TB dan rokok juga TB dan DM.

“Kita juga bisa saling menggunakan alat diagnostik bersama seperti platform GeneXpert untuk TBC dan COVID-19. Kita juga perlu menciptakan infrastruktur, laboratorium dan pengiriman pengobatan yang terpadu juga memperkuat keterlibatan masyarakat,” ujar dia.

Baca juga: Kemenkes: Setiap jam, 11 orang di Indonesia meninggal akibat TB
Baca juga: Dokter RSUI ingatkan kasus tuberkulosis perlu diwaspadai saat pandemi
Baca juga: Muhammadiyah tegaskan komitmen dalam memerangi tuberkulosis

 

Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Budhi Santoso
COPYRIGHT © ANTARA 2022