Surabaya (ANTARA News) - Ketua Asosiasi Permebelan Indonesia (Asmindo) Jatim, Johanes Soemarno mengungkapkan, himpitan biaya bahan baku dan biaya produksi yang terus melambung, telah mengancam kelangsungan usaha mebel daerahnya. "Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), harga kayu dan tarif dasar listrik industri, cukup memberatkan. Kalau kondisi seperti ini terus berlangsung, kemungkinan semakin banyak yang gulung tikar," ungkapnya di Surabaya, Kamis. Menurut dia, kenaikan harga BBM pada Oktober 2005 telah menyebabkan pembengkakan biaya produksi dan distribusi. Beban itu semakin memuncak dengan diberlakukan kebijakan "beban puncak" penggunaan listrik oleh PLN serta kenaikan harga kayu yang mencapai 25 persen dari harga sebelumnya, itupun sulit didapat. "Kalau beban yang sudah sangat berat itu nantinya ditambah dengan kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) yang telah diwacanakan pemerintah, maka akan semakin banyak usaha mebel di Jatim yang gulung tikar," ujarnya. Saat ini saja, usaha mebel di Jatim banyak yang kondisinya memprihatinkan, kapasitas produksinya sudah banyak menurun dan sebagian diantaranya bahkan sudah menghentikan produksi. Menurut perkiraannya, dari sekitar 100 usaha mebel anggota Asmindo yang mampu bertahan hanya sekitar 30 persen. Membumbungnya biaya bahan baku, biaya produksi dan juga biaya distribusi telah berdampak melemahnya daya saing produk mebel Jatim dan juga Indonesia di pasar internasional. Pesaing mebel Indonesia diantaranya China, Vietnam dan Malaysia. Sementara itu, pasar mebel Jatim maupun Indonesia sebagian besar ke Amerika Serikat (AS) dan sebagian lainnya ke Eropa, Afrika dan lainnya. Soemarno yang juga salah satu Ketua Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Jatim itu, menyatakan, prihatin dengan menurunnya kinerja usaha mebel di Jatim itu, karena mebel selama ini mampu memberi kontribusi devisa sekitar 40 persen dari nilai ekspor Jatim. "Kalau ekspor Jatim pada 2005 sekitar 6,8 miliar dolar AS, maka kontribusi dari mebel sekitar 40 persennya," tuturnya menjelaskan. Menyinggung masalah pengadaan bahan baku kayu, ia mengemukakan bahwa pasokan dari produk dalam negeri saat ini semakin mengecil, sehingga pengusaha harus impor. Contohnya, PT Kurnia Anggun, perusahaan mebel yang dipimpinnya sudah dalam beberapa waktu terakhir impor kayu pinus dari Selandia Baru (New Zealand). Harga kayu impor dibandingkan harga kayu dalam negeri relatif sama atau bahkan lebih murah. Harga kayu pinus impor yang sudah di oven harganya sekitar 175 dolar per-meter kubik, sedangkan harga kayu sejenis belum di oven dari dalam negeri sudah mencapai Rp1,5 juta/M3.(*)

Editor: Suryanto
COPYRIGHT © ANTARA 2006